CERBUNG

# Bagian 3

 Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu turun dari taxi online dan membayar ongkos ke supir segera saja ia melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam salah satu pintu utama Stasiun seraya menuju ke salah satu mesin pencetak tiket untuk mendapatkan boarding pass. Ia beruntung, sejak tak lama diberlakukannya pelongggaran aturan pemerintah terkait pembatasan pandemi covid 19 suasana dalam Stasiun Gambir masih cukup lengang. Berbanding jauh ketika sebelum masa pandemi. Pagi ini tak tampak antian, jadi ia bisa langsung mendekat ke salah satu mesin cetak otomatis yang didominasi cat warna oranye gradasi biru khas logo KAI.

 Boarding pass kini sudah di tangannya. Ia masukan ke dalam saku kanan knight hodie warna navi sambil sesekali membetulkan letak dua strap ransel hitam yang sedikit kendur. Sambil berjalan mendekat menuju salah satu gate untuk checkin, ia melirik angka digital di smart watch hitam miliknya menunujukan pukul delapan kurang lima menit pagi. Masih tersisa waktu 40 menit lagi menuju jadual keberangkatan kereta Argo Cheribon yang akan ia tumpangi. Sedari keluar dari kost ia sengaja sudah mengeluarkan KTP yang ia simpan di saku kanan hodie. Di depan gate in tampak bapak berseragam putih dan di belakangnya pemuda polsuska. Bapak berbadan gempal itu mengecek boading pass serta KTP yang Akasia pada beliau, usai berapa saat ia lalu di ijinkan masuk dan kembali melanjutkan langkah untuk ke atas akses menuju peron tempatnya gerbong kereta argo cheribon yang sudah terparkir disana.

 Tanpa menunggu lama, ia langsung masuk ke dalam gerbong kereta sambil berjalan ke depan menelusuri gerbong untuk menuju ke gerbong eksekutif  mencari kursi yang sesuai keterangan di boarding pass. Begitu terlihat, ia lepas ransel dan meletakannya di kabin bagasi yang ada tepat di atas kursi yang selalu jadi favoritnya. Kursi di bagian tengah dengan sisi yang menghadap langsung jendela. Baru beberapa menit ia duduk dan melemaskan otot leher, tiba-tiba duduk seorang ibu-ibu paruh baya berambut ikal tepat di sampingnya setelah ia dibantu oleh lelaki di sebarang kursi mengangkat dan menaruh kopor pink ukuran sedang milik ibu-ibu tersebut. Ibu-ibu itu menoleh ke arah Akasia dan tersenyum, praktis ia pun membalas dengan sedikit menundukan kepala.

 “Para penumpang sekalian, dalam beberapa saat lagi kereta Argo Cheribon angkat berangkat dari stasiun keberangkatan Gambir menuju Cirebon. Rangkaian kereta ini akan transit di stasiun Jatibarang untuk melanjutkan menuju stasiun tujuan akhir Stasiun Cirebon.”

Terdengan suara announcer pria dari pengeras suara di dalam gerbong.

 Dan tak berselang lama kemudian, kereta ini perlahan bergerak menjauhi Stasiun Gambir menyisakan bunyi decit roda baja yang beradu dengan rel. Seperti biasanya, Akasia sudah berjibaku dengan earphone wirelles dan menyetel playlist lagu-lagu favorit dari gawainya.

Her green plastic watering can
For her fake Chinese rubber plant
In the fake plastic earth

That she bought from a rubber man
In a town full of rubber plans
To get rid of itself

Alunan lagu fake Plastik tress milik radiohead yang dicover dan dibawakan versi akustik oleh Danila terdengar begitu empuk mengisi kedua gendang telinga Akasia. Dalam posisi relaks perlahan ia pejamkan kedua mata sambil menikmati lantunan lagu itu.

“Shit! Bau apaan ini?” ia membatin sambil mengepiskan ujung hidungnya yang tertutup masker putih dan mencari sumber bau kurang sedap yang menyeruak nyaris ke seluruh penjuru gerbong kereta.

“Deuh! Bau ketek si ibu ini ternyata. Gue tahan baunya sepanjang perjalanan atau gue coba ngomong ke beliau ya? Tapi kalo ngomong, solusinya gimana ya?”  gerutunya dalam hati.

Akasia melirik ke samping kanannya, melihat Ibu-ibu yang duduk di sebelahnya itu sambil masih berpikir keras untuk menemukan solusi atas ketidaknyamanan ini.

Ibu-ibu itu terlihat sedang asik beribaku dengan gawainya. Dari tampilnan layar muka yang jelas terlihat oleh Akasia, nampak si Ibu tengah melihat beranda  satu aplikasi marketplace berwarna oranye.

“Ah! Gitu aja kali ya? Semoga aja si Ibunya nggak tersinggung dan gue bisa nyaman nikmati perjalanan.”

Akhirnya dia menemukan sebuah ide yang baru saja terlintas di kepala.

“Ibu, maaf. Saya permisi lewat ya? Mau ambil sesuatu di tas saya.” Ujar Akasia sambil menunjuk ke arah atas bagasi kabin.

“Hah, Gimana Mas?!” sii Ibu tampak kernyitkan dahi.

“Saya mau lewat Bu. Mau ambil sesuatu di dalam tas saya.” Kali ini Akasia sambil mengerasakan sedikit volume suara.

“Oh, iya iya Mas. Silakan.”

Akasia bangkit dari duduk, melangkah melewati kedua lutut Si ibu, membuka salah satu resleting ransel dan mengambil botol parfume kaca berukuran 100 mili sambil menyembunyikannya dibalik saku kiri hodie kemudian melewati Si ibu itu lagi dan kembali memposisikan duduk.

“Wah, lagi banyak flash sale ya Bu?”  Akasia berusaha memancing obrolan.

“Iya nih, Mas. Lumayan. Mana barangnya lucu-lucu lagi yang flash sale.”

“Wah, keren tuh Bu. Oiya ngomong-ngomong soal flash sale, tempo hari saya baru aja dapat barangg murah bener Bu. Iseng checkout dapat harga diskon sampai tujuh puluh persen.” Akasia terpaksa bohong.

“Wah, beruntung tuh si Mas. Memang kalau boleh tau, Mas beli apa itu?”

“Ini, Bu? Parfum.” Akasia mulai melanjutkan rencana idenya, sambil mengeluarkan parfum dia yang diambil dari ransel tadi.

“O iya, sekalian saya mau minta saran Ibu, nih!”

“Saran? Maksudnya gimana Mas?”

“Saya mau tau aja  menurut saya sih wangi parfumnya lumayan enak. Tapi saya mau tau juga pendapat orang, pendapat Ibu contohnya. Boleh?” jelas Akasia dengan nada bicara hati-hati.

“Mana coba Mas? Biar saya tau.”

“sebentar Bu. Saya ijin sedikit semprotkan ini sedikit di kemeja ibu nggak apa-apa kan?”

Ibu itu mengangguk tanda setuju.

Sessh…sesshhh…

Akasia mulai menyemprotkan parfum tersebut ke kedua bagian depan lengan kemeja bergaris putih hijau yang si Ibu kenakan.”

Terlihat, si Ibu menghirup napas dalam sambil mengamati wangi parfum tadi.

“Hmmm… lumayan kok Mas. Wanginya cowok banget ini, seger.”

“Wah, menurut ibu gitu, ya? Syukurlah. Berati saya beruntung ini dapat barangnya nggak lebih dari seratus ribu. Soalnya kalau harga normal bisa dua ratusan lebih, Bu.”

“Ya, worth it banget lah itu Mas.”

“Sekali lagi, terima kasih ya Bu. Udah bantu saya ngereview. He he he.”

“Sama-sama Mas.” Tutupnya sambil kembali sibuk melihat layar gawainya.

“Alhamdulillaaaaah. Akhirnya, ketutup juga ni bau ketek. Dan untungnya si Ibu nggak curiga lagi dengan maksud gue tadi. Ha. Ha ha”  pukasnya dalam hati

Kini, akhirnya Akasia bisa dengan tenang dan nyaman, rebahan santai sambil masih mendengarkan alunan musik . Dan ia pun lalu kembali memejamkan kedua kelopak mata.

Entah berapa lama ia tertidur pulas sepanjang perjalanan Jakarta-Cirebon. Saat perlahan tersadar ia mendengar pemberitahuan dari pengeras suara jika sesaat lagi kereta akan berhenti di stasiun tujuan akhir, Stasiun kejaksan Cirebon. Saat menoleh si Ibu yang duduk di sebelahnya sudah tidak nampak, ia menerka jika si Ibu pasti turun di stasiun sebelum ini, yaitu stasiun Jatibarang.

Usai menyeka perlahan muka dengan kedua telapak tangannya, ia bangkit  dari duduk dan berjalan menuju toilet untuk buang air kecil sekaligus membasuh muka untuk menyegarkannya dari sisa kantuk. Lalu berjalan kembali ke kursinya, mengambil ransel dari atas bagasi kabin kemudian memakaikannya di punggung.

Suara rem kereta terdengar keras sebelum akhirnya kereta mulai melambat begitu masuk ke area stasiun besar Cirebon. Masih dalam kondisi berdiri, saat laju kereta sudah benar-benar berhenti, ia beranjak menuju pintu keluar gerbong. Akasia tampak meregangkan kedua tangannya ke atas sekali, sambil menggeliat melemaskan badan yang sedikit kaku karena duduk lebih dari  3 jam lamanya.

Ia pandangi suasana luar sekitar stasiun. Ia hirup dalam-dalam udara di sekelilingnya. Udara kampung halaman yang tentu saja seolah memiliki atmosfir berbeda. Terlebih ini adalah kepulangannya kembali setelah hampir 8 bulan lamanya ia tak pulang.

Akasia melanjutkan langkahnya untuk menuju pintu keluar stasiun. Di luar, tampak para penumpang lain yang juga turun bersamaan dengannya mulai berhamburan keluar stasiun. Baru saja ia mengeluarkan gawai, dan niatnya ingin memberitahu Riri perihal dia yang telah sampai Cirebon.

“Ka! Heiii…. Akaaa!”  terdengar suara perempuan yang familiar di telinganya.

Sontak ia menoleh ke asal suara. Dilihatnya perempuan berjilbab hitam dengan balutan sweater warna krem dan rok berenda berbahan denim yang di kenakannya. Yang ternyata tak lain adalah Riri.

Praktis, Akasia lalu berlari kecil mendekat ke arah Riri yang berdiri di area parkir di samping pintu mobil Jazz warna putih.

“Panjang umur, lu Ri! Baru aja gue mau nelfon, Eh elu udah ngeh aja kalo gue udah sampai.”

“Iya dong! Tadi spontan aja begitu turun mobil terus ngeliat ke arah pintu  keluar, eh! Gue liat lu. kebetulan banget.”

“Bay the way, gimana kabar lu Ri?” telapak tangan kanan akasia sambil berusaha menjabat tangan Riri.

“Perasaan lu udah nanya kemarin di chat. Segala pake salaman lagi udah kayak formil banget, haha!” Selorohnya.

Akasia pun tertawa kecil.

“Elu sendirian aja, Ri? Gue kira sama Erga.”

“Iyalah sendiri, Erga kan kerja atuh. Gue kan uti, gimana sih lu, Ka.”

“Ye, gue kira dia ikut cuti gitu barengan lu buat hadirin acara wisudah adek lu lusa nanti.”

“Enggak, Ka. Dia tetap kerja. Udah sebulanan juga gue sama dia Ldr.” Jelasnya.

“hah, Ldr? Bukannya kalian sama-sama di Bandung, ya?”

“iya gue sih masih tetap di Bandung. Tapi Erga baru aja di promosiin di satker daerah di Tasik, Ka.”

“Oh…ya ya ya.” Akasia mengangguk paham.

“Be te we, Elu udah maksi, Ka?” tanya Riri.

“Belum nih, laper gue.”

“Yaudah kalo gitu sebelum gue anter lu balik ke rumah, sekalian cari makan aja dulu. Gue juga belum maksi soalnya.”

“Boleh deh Ri, setuju. Empal mang Dul kayaknya enak sinag-siang gini. He he.”

“Jadi elu mau makan empal di mang Dul?”

Akasia anggukan kepala.

“Yaudah kalo gitu,  Caw deh. Eh, ransel lu taruh di jok belakang aja. Ka.”

“Sip, sip.”

Riri masuk ke dalam kemudi  mobil disusul Akasia yang juga masuk dan duduk di samping Riri usai ia letakan ransel di jok belakang mobil. Perlahan mobil pun melaju meninggalkan area parkir Stasiun Cirebon untuk menuju salahh satu kedai masakan khas Cirebon favorit mereka berdua.

Di Kedai Mang Dul. Usai menyantap makanan mereka asik membahas nostalgia teman-teman semasa SMP nya. Serta  obrolan ringan lain seolah melepas kerinduan dua sahabat yang tak bersua cukup lama. Akasia melihat Riri tampak jauh berbeda, makin terlihat ceria, anggun dan dewasa. Berbanding terbalik dengan Akasia yang beberapa bulan belakangan ini lebih pendiam dan suka menikmati waktu untuk menyendiri.

Sesaat sebelum mereka memutuskan untuk pulang.

“Ri? Elu ingat Kang ujang nggak? Porter kita waktu terakhir bareng naik ke Ciremai?”

“Waktu kita hiking bareng anak mapala Unjati itu, bukan?”

“Iya..iya itu.”

“Masih inget lah! kenapa emang, Ka?” Riri tanya balik.

“Masih nyimpan kontaknya?” tambah Akasia.

“Ya udah kemana tau kalik, Ka. Gila itu udah 4 tahun lalu.”

“Hehe, ya kali-kali aja masih. Makanya gue nanya.”

“Emang ada apa sih, elu kok tiba-tiba nanya itu, Ka?”

“Nggak apa-apa, Ri. Rencana, ini sih baru rencana aja. Waktu gue kan disini kemungkina agak lama. Sekitar semingguan lah. Nah, gue mau hiking lagi ke Ciremai tapi lewat jalur yang dulu bareng Kang ujang itu.”

“Healing nih ceritanya.” Ledek Riri.

“Yoiii…he he.”

“Nanti coba gue nanya A Gilang deh. Kakak sepupu gue yang juga ikut hiking bareng kita juga dulu. Soalnya, sampai sekarang dia masih aktif tuh naik gunung. Sapatau nyimpan kontak kang Ujang.”

“Sip, Boleh tuh Ri. Thanks ya?”

Riri acungkan jempol kanannya. Lalu mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan untuk mengantar Akasia. Sepanjang perjalanan, berkelebat rasa penasaran untuk mengunjungi salah satu titik merah di peta kuno yang Akasia yakini ada di lereng gunung Ciremai, walaupun Akasia tidak pernah tau seperti apa tepatnya serta  bahaya yang menantinya dibalik tempat anomali yang akan di kunjunginya itu.

Bersambung…

Bagikan

About Thyandi

Thyandi

Thyandi

Indonesian Randoms Bloggers.

 Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga  dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.

Arung Nadir Quotes!

 “Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”

Recent Post!

Laman Iklan!