CERBUNG

Natsu No Hanami (Part 1)

(The Begining)

 

 Sore itu, sejak kedua orang tua gue bilang jika mereka tidak memiliki cukup dana untuk gue bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, gue yang kala itu masih duduk di bangku smp kelas tiga, telah memutuskan bertekad untuk bisa meraih mimpi-mimpi gue dengan segenap ikhtiar tanpa harus membebankan mereka. Gue tak merasa kecewa atas keputusan kedua orang tua gue tersebut, sebab gue sangat paham jika dana yang mereka miliki akan lebih baik digunakan untuk biaya sekolah kedua adik gue. Kyora yang menginjak sekolah dasar kelas 4 dan abimanyu adik gue yang paling bungsu yang saat itu baru menginjak kelas 1 sekolah dasar.

 Saat itu gue merasa bahwa Allah pasti punya alasan dibalik semua kenyataan hidup keluarga kami, terlebih bagi gue sebagai anak pertama yang kelak mesti bisa membuat kedua orang tua, serta kedua adik gue bangga.

 Maka sejak saat itu pula gue mulai berusaha belajar lebih giat untuk bisa meraih beasiswa dalam setiap menempuh jenjang pendidikan, Gue sangat bersyukur diberikan kelebihan dalam hal kecerdasan, dan atas segenap usaha serja kuasaNya pula gue bisa meraih beasiswa saat melanjutkan di sekolah menengah atas negeri favorit di kota bandar lampung. Setelah meraih nilai ujian nasional tertinggi kedua se provinsi lampung.

 Semua itu berlanjut sampai ketika gue menginjak kelas 9. Karena mahfum dengan kondisi keluarga yang pas-pasan, bapak gue yang hanya seorang pensiunan buruh pabrik gula serta ibu gue yang tiga hari dalam seminggu menyambi sebagai buruh cuci di rumah-rumah langganannya, semua ibu lakukan demi membantu menopang perekonomian keluarga kami, itu sebabnya gue tidak pernah menyesal dengan keputusan mereka, namun justru bangga bisa memiliki orang tua hebat seperti mereka.

“Mimpi gue lebih tinggi dari segala keterbatasan ini.”

 Saat itu gue mulai mencari-cari informasi mengenai beasiswa untuk bisa kuliah di luar indonesia. Salah satu dari mimpi gue. Sampai suatu hari di bulan april, gue mendapat informasi adanya beasiswa dengan pembiyaan full, baik pendidikan maupun biaya hidup selama kuliah. Beasiswa FULL Scholarship yang selama ini gue cari, sebab gue tak ingin membebankan orang tua, seperti tekad awal gue sedari lulus smp tersebut.

 Beasiswa yang di adakan oleh salah satu perusahaan swasta trading kenamaan asal jepang yang ada di indonesia. Yang apabila berhasil maka akan berhak untuk menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas swasta yang sangat prestisius di jepang, yaitu waseda university.

 Dan mulailah gue mengikuti seleksi beasiswa tersebut, serangkaian test yang gue lakukan selepas lulus sekolah menengah atas. Awalnya gue cukup down, ketika dari info yang gue dapat mengenai beasiswa ini di tahun sebelumnya bahwa dari hampir tiga puluh ribu pendaftar atau peserta test, hanya akan diambil dua orang saja yang akan mendapakan beasiswa tersebut. Namun rasa optimis serta tekad yang kuat buat serta didorong dukungan moril kedua orang tua buat gue merasa yakin kalau kerja keras tak akan pernah mengkhianati hasil.

 Sampai pada suatu pagi, gue mendapati sebuah panggilan masuk di handphone gue dari nomor yang tidak dikenal.

“Hallo, ..” Sapa gue begitu menganggat telfonnya.

“Ya hallo. Bisa bicara dengan saudara endra shaka wijaya.” Suara seorang lelaki diujung terlfon sana.

“Ya, dengan saya sendiri, pak. Maaf kalau boleh tau ini siapa ya?” Tanya gue kepada penelfon yang nomornya tak ada di daftar kontak gue ini.

“Saya dari pihak mitsui, hanya ingin memberitahukan. Selamat kepada saudara endra shaka wijaya, anda lolos test dan terpilih serta berhak mendapatkan beasiswa full scholarship di universitas waseda. Sekali lagi selamat ya? Dan diharap untuk melengkapi semua berkas yang kami perlukan yang semua daftarnya telah dikirimkan oleh kami melalui email barusan.”

 Ada keheningan sepersekian detik di otak gue. Lebih tepanya gue masih merasa spechless atas apa yang gue dengar barusan.

“I..I ya pak. Terimkasih banyak atas informasinya, terimkasih. Saya segera akan melengkapi semuanya.”

“Sama-sama. Yasudah, itu saja pemberitahuan dari kami terkait beasiswa ini. Sekali lagi selamat ya saudara endra. Selamat pagi. “ Dan panggilan pun ditutupnya.

 Tanpa aba-aba, gue seketika berlari keluar kamar mengampri ibu gue yang pagi itu tengah membuatkan sarapan untuk bapak. Gue peluk beliau dari belakang.

“Bu….” Ucap gue dengan seketika tangis haru yang pecah dipelupuk mata.

 ibu gue seketika mematikan kompor gas nya. Lalu membalikan badan dan membalas pelukan gue.

“Kenapa nak, ada apa? “ Tanya ibu heran.

“Endra lolos bu. Endra dapet beasiswa nya bu….” Jawab gue masih terisak.

“Alhamdulillah ya allah…” Dan ibu gue ikut menangis haru.

 Dari dapur gue dan ibu beranjak ke depan rumah menghampiri bapak yang tengah memberi makan ayam-ayam kampung miliknya. Bapak hanya tampak tersnyum mendengar berita bahagia ini. Masih selalu sama bapak yang pendiam dan minim ekspresi, tapi dari kedua bola matanya yang tampak berkaca-kaca, gue yakin, sangat yakin bapak pasti merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang gue rasakan saat itu.

“Endra janji, bakal bikin ibu sama bapak bangga, apapun setelah ini…” Ucap gue, dengan muka yang masih terbenam diantara peluk mereka pagi itu.
 
 

(When It Started)

Berliana POV

Siang itu, adalah saat yang bersejarah dalam hidupku. Seperti biasa, aku sedang khusyuk membaca komik yang kusembunyikan di laci meja saat Guru Sejarah berdongeng di depan kelas. Aku memang seperti ini, akan cuek dan menganggap masa bodoh pada sesuatu yang aku tidak terlalu suka atau tak kuanggap penting, dan pelajaran inilah salah satunya.

Ketukan lembut di pintu kelas tiba-tiba terdengar. Bu Nita, guru BK melongokkan kepalanya lalu meminta ijin untuk memanggilku sebentar. Tentu saja aku gelagapan dibuatnya.

Sial! Rupanya kegiatanku membaca komik tadi ketahuan.

Aku berjalan gontai mengikuti Bu Nita, pasrah dengan ceramah maupun sanksi yang akan diberikan kepadaku nantinya. Tetapi ternyata beliau tidak membawaku ke BK, melainkan ke Ruang Kepala Sekolah.

Hah? Lebih parah lagi ini berarti! Sial, sungguh sial!

Aku yang selalu masuk tiga besar sejak semester pertama di kelas 10 hingga saat ini, masa iya kena sanksi dari Kepala Sekolah di semester terakhir sebelum kelulusanku ini. Mau ditaruh dimana mukaku ini?

“Selamat siang Pak, ini Berliannya sudah saya bawa.” sapa Bu Nita setelah mengetuk pintu Ruang Kepala Sekolah yang sejak tadi sudah terbuka.

“Siang Bu, terima kasih. Silakan duduk.” sahut Bapak Kepala sekolah yang seketika menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arah kami.

Sebenarnya suasanya tegang seperti ini tak berpengaruh bagiku, perjalanan hidupku sedari kecil cukup membuatku menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng, bahkan malah sangat susah untuk menangis. Apapun yang terjadi, terjadilah. Jika memang aku akan mendapatkan hukuman karena membaca komik di kelas, mau bagaimana lagi? Akan kujalani dengan sepenuh hati.

“Jadi begini… maksud Bapak panggil kamu kesini, karena ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan.” sepertinya beliau sengaja memberi jeda supaya lebih terkesan dramatis, aku hanya dapat menghela napas pasrah.

“Barusan Bapak mendapat kabar bahwa aplikasi beasiswa Monbukagakusho yang kamu ajukan, diterima. Selamat ya! Nanti surat resminya akan dikirimkan via email dan pos ke sekolah. Nah sementara itu, kamu harus mulai menyiapkan berkas-berkas pendukung yang diperlukan. Dan sudah mulai harus menghubungi profesor di sana supaya persiapan kamu nanti lancar.”

Hah? Tanpa kusadari mulutku menganga karena sangat terkejut, hingga aku tak sanggup berkata-kata. Beasiswa penuh untuk menempuh pendidikan universitas di Jepang ini merupakan mimpi terbesarku saat ini. Sungguh tak kupercaya Allah mengijinkanku untuk meraihnya.

“An? Berlian?” panggil Bu Nita kepadaku yang masih mematung karena kaget.

“Eh, iya Bu.” sahutku gelagapan. “Alhamdulillaaaaaah….” akhirnya ucapan syukur keluar dari bibirku, sepenuh hati aku mengucapkannya sambil meraupkan kedua tanganku ke wajah. Tak sabar rasanya untuk segera pulang dan mengabarkan berita besar ini ke Ibu dan adikku.

“Terima kasih Pak atas berita gembiranya. Saya benar-benar senang dan bersyukur sekali. Insyaallah saya berjanji akan belajar sungguh-sungguh di sana nanti dan mengaplikasikan ilmu yang saya dapat untuk kebaikan orang banyak.”

“Kami sangat bangga dan berterima kasih kepada nak Berlian yang selama ini telah menyumbang beberapa piala ke sekolah, dan ini ternyata gongnya. Bapak tahu, syarat dan proses yang kamu lalui sangat tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa ini. Makanya Bapak sangat bangga, ternyata salah satu murid kita berhasil mendapatkannya. Sekali lagi Bapak ucapkan selamat. Kalau Bapak boleh tahu, kamu apply untuk ke University mana ya?”

“Tokyo Medical University Pak.” jawabku mantap.

***

Sepulang sekolah, langkahku sangat ringan. Turun dari Bus Kota, kulangkahkan kaki ke rumah sambil bersenandung riang, senyum tak henti-hentinya menghiasi wajahku.

“Bel! Napa senyum-senyum ndiri? Udah edan kamu?” Leo, partner in crime ku semasa kecil tiba-tiba memarkirkan motor bebek modifikasinya persis di sebelahku.

“Apa sih Le? Mau tau aja urusan orang.”

“Ntar kamu ada jadwal ngeles ga? Ikut aku yuk! Kutraktir nyewa komik deh.”

“Ga ada sih. Tapi ibu ada banyak pesenan, aku ga bisa keluar. Lagian gaya amat sih traktir traktir? Habis menang sabung ayam?”

“Ha ha… ngawur kamu Bel! Baru dapet rejeki lah pokoknya. Ayolah Bel, bentaran aja, sejam doang paling.”

“Enggak bisa aku Le. Ada hal penting yang harus kusiapin sebelum ibu pulang. Sorry… Dah Lele!” aku meninggalkannya yang masih manyun di atas motornya.

Dalam seminggu, empat hari aku mengajar les privat di tiga tempat yang berbeda. Hal ini kulakukan untuk membantu ibu, setidaknya untuk mencukupi uang sakuku sendiri. Jika aku tidak ada jadwal mengajar privat, aku akan membantu ibu membuat kue. Semenjak kepergian Ayah, Ibu bekerja sebagai staff di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Selain itu di rumah, beliau juga menyibukkan diri dengan menerima pesanan kue dan snack tradisional lainnya.

Dulu, ayahku adalah pekerja tambang yang cukup mempunyai posisi tinggi di kantornya. Beliau bekerja dengan sistem rotasi 6 minggu on 3 minggu off di Papua. Sewaktu ayah masih ada, kehidupan kami sangat tercukupi. Setiap pulang dari Papua ataupun dinas luar negeri, beliau selalu membawakanku buku bacaan, itulah mengapa aku sangat suka membaca.

Walaupun ayah jarang ada di rumah, aku sangat dekat dengannya. Saat sedang tidak bekerja, beliau sangat pandai memanfaatkan waktunya untuk bermain dan bersenda gurau bersamaku dan adikku, Dika.

Ayah juga cukup sering mengajak kami camping maupun melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Indonesia. Tempat yang kami kunjungi pun bukan tempat wisata kebanyakan. Ayah yang memang berjiwa sosial tinggi lebih suka mengajak kami untuk melihat dan merasakan kearifan lokal di setiap daerah yang kami kunjungi. Saat itu, masa kecilku benar-benar menyenangkan dan penuh warna.

Namun suatu ketika, Allah berkehendak lain, kebahagiaan keluarga kami terenggut begitu saja. Ayah yang tampak selalu sehat dan ceria dikabarkan terkena serangan jantung dan seketika meninggal di lokasi kerjanya. Kejadian paling kelam dalam hidupku itu benar-benar tak akan terlupakan. Aku yang waktu itu duduk di kelas 5 SD, masih ingat betul bagaimana ibu menangis hingga tak sadarkan diri beberapa kali. Sedangkan aku, dan Dika yang waktu itu masih TK B, saking syoknya, kami tak sanggup menangis.

Sejak saat itu, kondisi keluarga kami berubah drastis. Ibu yang tadinya tidak bekerja, harus berjuang seorang diri demi memenuhi kebutuhan keluarga. Saat ibu bekerja, akulah yang mengurus rumah dan Dika. Mau tidak mau aku jadi pandai memasak. Untungnya juga, ada eyang yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Eyang akan menjemput Dika dari sekolah dan mengasuhnya selama aku masih bersekolah.

Selama ini, aku banyak belajar dari ibu dan ayah. Mereka adalah idolaku sepanjang masa. Terlebih melihat keikhlasan ibu yang tanpa lelah berjuang demi kami anak-anaknya, dan juga rasa cintanya yang begitu besar kepada ayah hingga memutuskan untuk tak mencari pengganti beliau.

Aku berjanji, akan berjuang sekuat tenaga untuk meraih mimpi-mimpiku. Ya, mimpiku memang tidak hanya satu, namun satu yang paling penting adalah untuk membahagiakan ibu, eyang, dan Dika. Dan tentunya juga agar ayah tersenyum bangga melihatku dari surga.

Oleh karena itu sejak saat masuk SMA, alhamdulillah aku diterima di salah satu SMA favorit di kota pelajar ini, aku giat mencari informasi mengenai beasiswa. Aku yang dikaruniai Allah daya ingat dan analisis yang luar biasa ini, memutuskan untuk memilih satu beasiswa untuk bersekolah di Jepang. Mengapa Jepang? Karena aku ingin benar-benar pergi ke tempat-tempat yang sering kubaca di komik dan kutonton di anime.



Semangkuk sayur sop lengkap dengan tempe goreng dan nasi putih mengepul telah siap terhidang di meja. Selepas menunaikan empat rakaat Isya, aku dan Dika yang saat ini kelas 7, duduk di meja makan menunggu kepulangan Ibu yang agak telat malam ini.

“Assalamu’alaikum.” sapa suara yang selalu kurindukan itu.

“Wa’alaikum salam” sahut kami serempak.

Setelah mencium hormat tangan beliau, aku dan Dika tetap duduk menunggu hingga Ibu selesai membersihkan diri, lalu bergabung bersama kami. Selama menunggu tadi, kami berdua tidak saling bicara, karena sibuk dengan bacaan masing-masing.

Saat ibu tiba, segera kami singkirkan buku, lalu mulai berdoa dan makan. Ritual makan bersama ini memang sangat penting di keluarga kami sebagai sarana untuk menjaga kehangatan keluarga dan bertukar cerita.

Saat kami semua selesai makan, akhirnya tiba saatku untuk menyampaikan berita besar yang sedari tadi sudah tak sabar untuk kuutarakan. Begitu aku selesai, Ibu tak henti-hentinya mengucap syukur, begitu juga Dika. Ibu lalu merengkuhku erat sambil menitikkan air mata, aku yang susah menangis ini pun terlarut dalam suasana sendu.

“Tapi nanti kalo Berli berangkat, Ibu dan adek gimana? Nanti siapa yang masak buat adek?” entah mengapa hal ini baru terpikirkan olehku.

“Ya ga gimana-gimana. Ibu sama adekmu insyaallah akan baik-baik aja. Soal makan, ga usah kamu pikirin, gampang itu nanti.” jawab ibu sambil mengecup lembut kepalaku.

“Nanti aku belajar masak mbak, ga usah khawatir. Pokoknya mbak fokus aja nanti sama kuliahnya, biar jadi dokter yang hebat.” timpal Dika sambil tersenyum mantap.

“He he he… makasih dek.” kuacak gemas rambut adek kesayanganku ini.

Terharu aku memandangi wajah dua orang yang paling kusayang ini. Sekali lagi aku berjani, aku tak akan mengecewakan mereka. Insyaallah!

Bagikan

About Thyandi

Thyandi

Thyandi

Indonesian Randoms Bloggers.

 Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga  dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.

Arung Nadir Quotes!

 “Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”

Recent Post!

Laman Iklan!