
Akasia And The Secret Door (Bagian 3)
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Ada rasa berat di hati kala memandang wajah-wajah polos mereka, kyora dan abimanyu. Juga perasaaan mencelos melihat kedua orang tua gue. Mereka, sengaja mengantar gue dari bandar lampung ke jakarta untuk mengantar keberangkatan gue sebelum bertolak ke tokyo.
“Bu, pak.. doain endra ya. Insyaallah endra akan selalu ingat semua pesan dan nasihat bapak dan ibu. “ Ucap gue ambil kaki kanan sedikit menggeser posisi koper hitam ukuran sedang yang ujung gagangnya gue pegang.
“Ya ndra, itu sudah pasti. Bapak percaya jika kamu akan baik-baik disana dan jangan tinggalkan sholat.” Balas bapak. Sedangkan ibu hanya terdiam sambil memandang gue dengan sendu.
Gue anggukan kepala.
“Ibu pasti bakal kangen sama kamu, nak.” Ujar ibu seraya memeluk erat gue.
“Bu, endra juga pasti sama, kangen ibu nanti.” Balas gue sambil berusaha sekuat tenaga agar air mata ini tak jatuh, karena gue enggak mau keberangkatan gue ini membuat hati ibu jadi tambah berat dan sedih.
Lalu beliau melepaskan peluknya.
“Kak, semangat nanti disana ya.” Kyora dan abimayu serempak.
“Pasti dong, kalian juga semangat terus belajarnya, yang nurut sama ibu dan bapak yah?” Gue sambil mengusap rambut mereka.
Terdengar suara anouncer perempuan menyebutkan nomor penerbangan sebuah maskapai yang menghimbau agar para calon penumpang untuk segera check in di terminal tiga.
Saat suara itu berhenti, sekali lagi untuk terakhir kali gue peluk kedua orang tua gue, lalu juga kedua adik gue. Setelahnya, perlahan namun pasti langkah kaki gue mulai menjauh dari mereka untuk segera check in dan menunggu di lounge maskapai yang nanti akan membawa gue ke haneda-tokyo, jepang.
kurang lebih dua puluh menit menunggu akhirnya tampak di layar led penunjuk informasi maskapai ini, juga disusul berapa detik setelahnya pemberitahuan dari pengeras suara jika ini adalah saatnya untuk segera boarding. Tanpa menunda, gue melangkah masuk menuju koridor yang diujungnya sampai ke pintu pesawat buatan jerman itu, dengan ransel kesayangan warna abu-abu muda yang melekat di punggung
Gue masuk kedalam serta mencari nomor kursi, memasukan ranselnya kedalam bagasi kabin lalu posisikan duduk.
Gue tau jika etimasi penerbangan nanti akan memakan waktu lebih dari delapan jam. Bisa dibilang ini adalah perjalanan terjauh gue mengunakan pesawat sebab sebelumnya paling jauh gue tempuh adalah jakarta – lombok. Maka dari itu gue telah menyiapkan dua buku yang sengaja gue keluarkan dari ransel, satu buku biografi lengkap pak habibie, satu lagi buku berudul api sejarah yang tempo hari gue beli namun belum sempat gue baca.
Perlahan, tampak lampu pesawat dipadamkan tanda akan segera take off, sambil membaca doa dalam hati dan seketika mulai melajulah burung besi ini dengan kecepatan penuh sebelum akhirnya mengudara di langit indonesia.
Tak terasa lima jam sudah gue berjibaku dengan buku-buku tersebut yang tinggal sedikit lagi selesai gue baca. Namun karena kantuk yang menggelayuti kedua kelopak mata akhirnya gue tertidur saat pesawat ini sudah lewat dari setengah perjalanan.
Entah berapa jam gue tertidur, saat terbangun pesawat masih mengudara di langit. Gue bisa lihat jelas gumpalan awan-awan putih dari dalam sebab kursi gue yang dekat jendela, karena merasa sedikit tak nyaman gue lepas seat belt kemudian bangkit dari duduk lalu melangkah kedepan menuju toilet. Begitu selesai dan kembali ke kursi, gue lewati bapak-bapak rambut belah pinggir dan sedikit beruban dibagian depan rambutnya itu serta ibu-ibu paruh baya yang rambutnya digulung rapih dibelakang yang gesture mukanya jepang banget, mereka berdua adalah orang yang duduk bersebelahan dengan kursi gue.
Baru saja memasang kembali seat belt terdengar dari pengeras suara sang pilot memberitahukan bahwa pesawat yang kami tumpangi sesaat lagi akan segera mendarat di bandara haneda tokyo. Walau dengan echo dari pengeras suara yang menurut gue sedikit berlebih sehingga suara pilot tak terdengar begitu jelas, namun samar gue dengar bahwa tiba waktu tokyo menunjukan pukul lima sore, praktis gue refleks melirik arloji hitam di pergelangan tangan kanan gue yang masih menunjukan waktu indonesia, tanpa pikir panjang segera gue atur penunjuk jamnya menyesuaikan waktu jepang yang lebih dua jam dari indonesia.
Begitu pesawat mendarat dengan mulus, gue sengaja tak bergeming di posisi duduk dan hanya melihat orang-orang di dalam yang mulai tampak sibuk mengambil barang bawaan mereka dari kabin pesawat. Gue sering begini karena gue bukan tipikal orang yang suka terburu-buru. Maka gue biarkan kondisi didalam sampai lengang barulah gue mengambil ransel, memasukan dua buku yang gue baca selama perjalanan, menutup resletingnya kemudian memakaikan kembali ransel dibelakang punggung.
Saat berjalan perlahan keluar pintu pesawat pikiran gue sedikit mengawang-awang. Gue masih belum sepenuhnya menyangka bahwa gue telah menginjakan kaki di jepang. Setelah beberapa waktu lalu sebelum keberangkatan gue sibuk untuk mempelajari secara singkat budaya dan kebiasaan orang-orang jepang serta sedikit bahasa mereka. Karena nasehat bapak tentang betapa pentingnya untuk menghargai lingkungan dimanapun tempat kita berada, bapak bahkan sempat mengucapkan pepatah usang “Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung .” Yang intinya dimanapun kaki gue berpijak, gue mesti menjaga nama baik keluarga serta menghormati lingkungan dan orang-orang disekitar gue berada.
Tanpa sadar langkah gue terhenti di satu ruangan luas didalam bandara ini. Yang tampak diatasnya papan penujuk dengan beberapa bahasa, dengan begitu gue merasa beruntung karena pengetahuan bahasa jepang gue yang masih amat minim ini sehingga tidak membuat gue terlalu kebingungan untuk segera megetahui letak dimana gue mesti mengambil koper setelah sebelumnya melalui imigrasi dengan menunjukan visa, pasport serta dokumen lain yang diperlukan untuk masuk ke negara ini.
Tunggu, tunggu.. dia itukan cewek yang pernah gue lihat. Tapi dimana ya? Ah! Cewek kacamata yang balpennya gue pinjam di kedubes itu. batin gue saat sepintas melihat sosok perempuan yang mukanya sangat familiar bagi gue, begitu gue ingat kalau dia adalah perempuan yang gue lihat di ruang tunggu kantor kedubes waktu pengurusan visa di jakarta.
Karena suasana yang padat dan berdesakan membuat gue gagal mendekat, tertahan arus orang-orang yang berjubelan setelah sama-sama mengambil koper di ruang pengambilan bagasi ini. Sedangkan perempuan itu seketika lenyap dari pandangan mata gue. Ah! Kemana lagi perginya. Etapi beneran dia bukan ya? Gue tampak ragu dan berpikir ulang.
Keberuntungan gue yang lain setelah mengambil koper adalah informasi bahwa di gate keluar, tempat dimana tampak orang-orang yang berjejer rapih menunggu untuk menjemput beberapa penumpang yang baru tiba, gue telah diberitahu sebelumnya oleh perusahaan yang memberi gue beasiswa ini kalau gue akan dijemput oleh seorang dari pihak perusahaan oleh lelaki bernama bapak fadhil.
Kini pandangan dan fokus gue teralihkan oleh sederet kalimat yang bertulis nama gue di kertas. Mr. Endra Shaka wijaya. Yang tampak di pegang oleh lelaki yang pasti yang dimaksud pihak perusahaan. Tak menunggu lama, gue bergegas menghampiri lelaki berjaket parasut hitam dengan celana bahan warna senada yang dikenakannya sore itu.
“Pak fadhil ya? Saya endra pak.” Sapa gue sambil berusaha mengulurkan telapak tangan kanan.
“Ya, saya fadhil. Ah, jangan panggil pak, lah. Panggil mas saja.” Ujar beliau.
Memang sih, saaat itu gue lihat lelaki di depan gue ini yang rambutnya belah tengah rapih, gue terka usianya belum terlalu tua, mungkin sekitar empat atau lima tahun diatas gue.
“Oh, iya iya, pak. Eh, maksud saya mas” lanjut gue.
“Selamat datang di tokyo, endra.” Balas mas fadhil usai kami berjabat tangan.
“Iya mas makasih, jujur aja saya masih spechless. Masih enggak nyangka kalo sekarang saya udah di jepang.”
“ya, ya, saya paham atmosfir itu. Dulu waktu pertama kali kesini juga saya merasakan hal yang sama, hehe..”
“Gitu ya mas..” balas gue, singkat.
“yasudah mari saya antar ke mobil. Bawaannya Cuma segitu?” Tanya mas fadhil saat melirik koper hitam yang gagangnya gue pegang ini.
“iya mas, saya nggak banyak bawaan, Cuma koper ini sama ini.” Gue sambil sedikit menggerakan bahu kanan kedepan sekali, sebagai isyarat bawaan ransel gue.
“Yasudah mari.”
Gue anggukan kepala.
Dan gue pun bergegas keluar bandara, berjalan mengekor dibelakang mas fadhil. Sampai ketempat dimana mobil suv hitam terparkir disana. Gue lalu memasukan koper kedalam bagasi belakang mobil yang akan mengantar gue ke apato (semacam apartement) dalam istilah jepang.
Sesaat sebelum masuk, gue hirup dalam-dalam udara disekeliling gue, lalu sekali memandang keatas langit sambil mengucap syukur dalam hati atas nikmat yang telah allah berikan sampai titik ini.
Finnaly, tokyo! gue nggak akan sia-siain semua kesempatan dan waktu gue disini.
Dan mobil suv hitam ini pun perlahan bergerak maju meninggalkan area bandara haneda tokyo.
Dua kopor berukuran medium telah siap. Sekali lagi aku mengecek dokumen dan kelengkapan identitas yang diperlukan dan memasukkannya ke dalam ransel. Kupandang kamar tercintaku selama beberapa menit sebelum menutup pintunya dan melangkah ke ruang tengah dimana Ibu, Eyang, Dika dan Leo menunggu.
Leo memang sering berkunjung ke rumahku dan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Semenjak kepergian ayah, Leo lah yang banyak membantu kami mengerjakan pekerjaan laki-laki di rumah, seperti memperbaiki pompa air, memasang antena TV, mengganti genteng bocor, dan lain sebagainya. Kali ini pun, Leo yang akan mengantar kami semua ke bandara untuk melepas keberangkatanku ke Tokyo dengan membawa mobil sepupunya.
Setelah selesai memasukkan koper ke bagasi, Leo duduk di belakang kemudi dan Dika di sebelahnya. Sedangkan aku, ibu dan eyang di kursi belakang. Sekali lagi ibu memastikan kepadaku untuk mengingat-ingat jika ada sesuatu yang terlupa, dengan yakin aku menjawab tidak ada. Mobil mulai melaju menembus kota Jogja yang riuh dengan warganya yang sedang menempuh perjalanan ke sekolah atau tempat kerja.
Hari ini memang bukan hari libur. Ibu sengaja mengambil cuti dari tempat kerjanya, Dika pun meminta ijin dari sekolahnya untuk khusus mengantarkanku. Sedangkan Leo, dengan cueknya dia membolos dari sekolahnya.
“Mas Leo, emang gapapa bolos aja gitu?” tanya Dika polos.
“Ya gapapalah. Sekolah itu yang bayar siapa? Kita kan? Berarti bebas dong mau dateng atau enggak, orang udah bayar ini. Lain cerita kalo kita yang dibayar, wajib datang itu hukumnya.” jawabnya sok serius sambil fokus memainkan setir.
“Ha ha ha…” kami semua tergelak dibuatnya.
“Jangan ditiru Dek! Nasehat yang menyesatkan itu.” timpalku sambil mengusap pelan kepala Dika, ibu dan eyang hanya tersenyum melihat tingkah kami.
Beda denganku yang bersekolah di sekolah negeri, Leo ini bersekolah di sekolah swasta yang cukup favorit juga di Jogja. Umurnya satu tahun di atasku, tapi angkatannya sama. Sewaktu di kelas 8, Leo pernah tidak naik kelas sekali karena kebanyakan bolos.
Aku ingat betul, masa-masa dimana Leo sering kabur dari rumahnya karena tidak tahan melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat, yang akhirnya berakhir dengan perceraian. Saat ini, Leo tinggal bersama sepupu laki-lakinya yang umurnya jauh di atasnya dan sudah dianggap seperti penganti orang tua. Ibunya pergi entah kemana. Sedangkan ayahnya, menikah lagi dan hanya memenuhi kebutuhan finansialnya saja.
“Bel, ati-ati ntar di sana! Jangan kecantol sama cowok Jepang, ga sunat lho mereka.”
“Hush! Ngasal aja kamu kalo ngomong Le!”
Memang sahabatku yang satu ini, walaupun otaknya cemerlang, mulutnya tidak pernah diajak sekolah. Tak peduli ada ibu dan eyang pun, tetap saja dia bercanda seenak udelnya.
“Lho… bener kan Tante?” lanjutnya sambil melirik ke arah ibu dari kaca tengah.
“He he he… kalian ini selalu aja begini, kaya Tom and Jerry.” jawab ibu sambil terkekeh.
“Emang Tante mau? Punya mantu ga sunat?” ternyata masih juga dilanjutkan olehnya candaan ngasalnya ini.
“Apaan sih Leeeee…!” tak tahan aku untuk tak menjewer telinganya.
“Aduuuh… duh duh… sakit tau Bel! Bahaya nih, gangguin orang lagi nyetir!”
“Lha kamunya ngasal banget sih. Becanda tuh ya… mbok yang sopan. Ish!” kali ini kucubit lengannya cukup keras, lalu menoleh ke Ibu dan Eyang. “Maaf ya Bu, Yang, Lele Dumbo yang satu ini emang suka asal njeplak begini.”
“Cieee… mesra banget sih berdua. Ada anak kecil woi di sini.” Dika ikut menimpali keriuhan kami, aku mencibir kesal ke arahnya.
Obrolan tak penting kami ini terus saja berlanjut hingga mobil berbelok menuju pintu masuk Bandara Adisucipto.
Kuhela napas pendek, pastinya aku akan merindukan suasana seperti ini. Semoga saja di Tokyo nanti, aku menemukan teman-teman baru yang menyenangkan. Namun misalnya itu tidak terjadi pun, aku siap. Aku harus mampu bertahan dengan kehidupan baruku di sana nanti, mau itu menyenangkan atau tidak, demi masa depanku dan mimpi-mimpiku.
Selesai check-in, aku kembali keluar untuk menemui keluargaku yang masih menunggu. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum pesawat yang akan membawaku ke Jakarta memanggil untuk boarding.
“Bel sayang… jaga diri nanti di sana ya! Sholatnya jangan sampai tinggal! Sesibuk-sibuknya kamu nanti, pastikan sholat tetap dijaga! Makan jangan telat! Ati-ati kalau bergaul! Sering-sering kasih kabar ya! Ibu pasti kangen banget sama kamu.” Buliran air mata mulai menetes dari kedua bola mata Ibu yang menatapku lekat.
“…” aku tak sanggup membalas kata-kata beliau, dadaku terasa sesak seakan hampir meledak. Aku hanya mengangguk dan memeluk beliau sangat erat. Ibu membalas pelukanku sambil mengusap-usap pelan punggungku.
“Cucu eyang yang paling cantik dan pinter… hati-hati ya! Eyang selalu doain dari sini, agar cucu eyang ini selalu dilindungi Allah kapan pun dan dimana pun.” Kali ini giliran Eyang berpesan sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku.
Kupeluk beliau erat, “Makasih Eyang, insyaallah Bel akan hati-hati. Doain Bel terus ya Yang…”
Selanjutnya kuhampiri adikku tersayang, “Dek, titip Ibu dan Eyang ya! Belajar yang rajin! Main boleh, asal tau waktu dan bertanggung jawab. Oh iya, belajar masaknya yang bener he he… ntar kalo Mbak pulang, kamu yang masakin ya!”
“Siap!” jawabnya sambil memberikan gesture hormat. “Mbak juga, hati-hati ya! Ntar kirim-kirim foto ya Mbak!”
Terakhir, kuhadapkan diri ke teman masa kecilku, “Jaga diri ya Le! Jangan keseringan bolos, ntar ga naik kelas lagi.”
“Justru aku tuh low profile Bel, sering bolos gini aja selalu masuk 5 besar kok. Kalo rajin masuk, nanti aku dapet ranking 1, males ah.”
“Dih, songong emang ya Lele Dumbo satu ini!” kudorong pelan bahu kirinya, membuatnya tertawa.
“Yaudah. Bel pamit yaaa! Assalamu’alaikum!” seruku lalu melambai kepada mereka semua.
“Bel!” panggil Leo lagi, membuatku kembali menoleh. “Salam buat Naruto ya!”
Dalam suasana haru seperti ini pun, aku tetap tidak menangis. Memang dadaku terasa sesak karena sedih dan haru, namun tetap saja air mataku tak ada yang keluar. Sepertinya trauma akan kepergian ayah masih begitu membekas di diriku, hingga membuatku seperti ini. Ketidakbisaanku menangis ini sudah menjadi ciri khasku. Bahkan dulu di sekolah, tidak jarang teman-temanku meledek dengan menyebutku air mata batu.
***
Perjalanan dari Jogja ke Jakarta via udara kutempuh dalam waktu 50 menit. Di Cengkareng, aku harus transit lumayan lama untuk menunggu penerbangan selanjutnya ke Haneda. Yang kulakukan untuk membunuh waktu? Tentu saja membaca buku.
Kali ini aku membawa sebuah novel bergenre detektif untuk menemani perjalanan. Jika sedang membaca seperti ini, aku akan sangat khusyuk hingga tak memperdulikan lingkungan sekitar. Aku hanya akan beranjak untuk ke toilet, membeli makanan, ataupun menunaikan sholat.
Delapan jam berada di pesawat kuhabiskan untuk menonton, membaca, dan tidur. Begitu mendarat di Haneda, aku disambut oleh keramaian yang luar biasa, membuatku linglung. Berusaha kubaca petunjuk arah yang cukup membingungkan di bandara yang sangat besar ini dan mengikutinya. Prioritas utamaku saat ini adalah mencari toilet. Memang sedari di pesawat tadi, sudah cukup lama kutahan hasrat untuk ke belakang.
Entah ini pengaruh jetlag atau memang dasarnya aku masih lingung, sudah berjalan kesana-kemari, tetap tak kutemukan juga letak toilet ada di mana. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu petugas kebersihan yang sedang sibuk mengelap kaca.
“Excuse me, I need to go to the restroom. Please show me where to go…” sapaku ramah. (-Maaf, saya perlu pergi ke toilet. Tolong tunjukkan jalannya…)
“Anooo…” petugas kebersihan itu sepertinya tidak mengerti apa yang kuucapkan, dia malah mengernyitkan dahi sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Eigo wa wakarimasen kara, Nihon go o onegai shimasu.” (-Eeeh…) (-Saya tidak mengerti Bahasa Inggris, tolong Bahasa Jepang saja)
Waduh! Benar juga, tidak banyak orang Jepang yang dapat berbahasa Inggris. Segera kuputar otak dan berusaha mengingat dialog dari anime yang sering kutonton.
“Toire… toire wa doko desuka?” itulah salah satu frase yang dapat kuingat. (-Toilet… toilet dimana?)
“Haaa…. Toire… hai hai. Toire wa asoko, migi desu.” (-Haaa… Toilet…. Baik baik. Toiletnya di sana, di kanan)
“Hai. Arigatou gozaimasu!” sahutku sambil sedikit membungkuk, lalu bergegas menuju ke arah yang ditunjukkan olehnya tadi. (-Baik. Terima kasih)
Selesai dengan urusan di toilet yang ternyata cukup membingungkan karena tombolnya terlalu banyak dan tulisannya karakter Jepang semua, aku bergegas melewati imigrasi. Untungnya petugas imigrasi tidak banyak menanyaiku, yang kulakukan di sana tadi hanyalah menunjukkan paspor, VISA, dan dokumen perjalananku yang lain termasuk alamat tempat tinggalku nantinya.
Selanjutnya, kuikuti arus orang yang sepertinya menuju ke tempat pengambilan bagasi. Alhamdulillah tidak perlu waktu lama bagiku untuk menunggu kedua koperku keluar.
Begitu melewati pintu keluar, semilir angin musim gugur menyambutku. Aroma musim gugur seperti ini, baru pertama kalinya kurasakan, tapi entah kenapa langsung membuatku jatuh cinta. Aku merasa, akan terjadi sesuatu yang besar dalam hidupku di sini, di Tokyo.
Sedikit kurapihkan rambut hitam sebahuku yang berantakan tertiup angin, kubenarkan posisi kacamata, lalu kurapatkan jaket agar tubuhku lebih terlindungi dari terpaan angin yang cukup menusuk. Kuhirup nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan sekuat tenaga sebelum mulai melangkahkan kaki menuju Train Station.
“Tokyo… aku datang!
Indonesian Randoms Bloggers.
Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.
“Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Tring….. Tring…. Pijar redup lampu biru, sayup-sayup suara
Terdengar nada pemberitahuan chat masuk di group alumni
Jakarta, Juni 2021… Cahaya mentari pagi menyingsing dan
Aku baru saja memarkirkan motor matic hitamku di
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk