CERBUNG

Natsu No Hanami (Part 3)

(Meet Her Againt)


 Cahaya matahari pagi tokyo yang hangat menyelinap masuk melalui celah tipis gordin warna pastel kamar apato gue. Awal agustus disini memasuki akhir musim panas, gue yang di indonesia terbiasa hanya merasakan dua musim tidak terlalu terkejut dengan cuaca musim panas disini sebab suhu rata-rata berkisar antara 26 – 31 derajat celcius. Tidak jauh beda dengan suhu di indonesia, namun tak tahu bila di musim lain, setidaknya dari informasi yang gue kumpulkan dan pelajari mengenai negara ini, khususnya di kota tokyo, gue sedikitnya telah bersiap untuk mulai beradaptasi nantinya dengan suhu udara, cuaca serta pergantian musimnya.

 O iya, di tokyo gue tinggal bersama alvin sanjaya. Lelaki seumuran gue yang bemata sipit, rambut secenti serta berbadan sedikit gempal, Ia keturunan tionghoa asal Malang, Jawa Timur, juga peraih beasiswa yang lolos selain gue untuk itu hanya kami berdualah yang beruntung untuk bisa mengenyam pendidikan atau kuliah disini.

 Tempat tinggal yang di sewa oleh pihak pemberi beasiswa untuk kami terletak di distrik Ota, Prefektur tokyo. kami baru seminggu menempati ruangan serupa apartemen type studio yang amat sangat minimalis, terdapat satu kamar berukuran kira-kira 16 meter persegi, di sisi pintu slide kiri kamar terdapat dapur sekaligus wastafel sedangkan di sisi kanannya terdapat kamar mandi. Tidak ada ruang tamu, yang ada hanya satu ruang ukuran empat kali satu setengah meter yang semenjak kami datang dan tinggal, difungsikan sebagai tempat untuk kami makan. 

 Kesan pertama begitu gue ketemu Alvin, menurut gue, dia tipikal lelaki yang periang dan suka sekali cerita tentang keluarganya di malang sana, tentang anjing kecil laki-laki ras shih tzu berbulu putih peliharaan dia yang diberi nama nimo, yang ketika cerita di bagian ini tampak sedikit raut sedih dari wajahnya, gue bisa merasakan selain keluarga, pastinya berat pula meninggalkan jauh anjingnya tersebut. Gue yang pendiam dan bicara seperlunya merasa bersyukur bisa ketemu Room Mate seperti dia, setidaknya dengan itu membuat suasana disini bisa untuk saling melengkapi.

 Selama satu minggu, kami diberi arahan oleh mas fadhil, perwakilan dari perusahaan yang memberi kami beasiswa, tentang cara dan tahapan-tahapan yang natinya mesti kami jalani selama disini. Juga fasilitas yang kami dapat, dari mulai kartu elektronik yang bisa kami pakai sebagai akses seluruh transportasi, juga semacam e – monney yang berisi saldo yang akan di transfer tiap bulannya guna keperluan hidup kami sehari-hari.

 Dari arahan beliau pula gue mulai paham jika sebelum memulai aktifitas perkuliahan, kami diwajibkan untuk semacam sekolah kursus bahasa jepang di lembaga yang dipilih oleh perusahaan yang nantinya mesti dijalani paling cepat selama kurang lebih satu tahun.

***

“Vin, Alvin! Buruanlah mandinya. Lama amat, kalo tidur jangan di dalam, telat nanti kita” Sahut gue dari luar kamar mandi, sambil sesekali mengetuk pintu.

“Mmmm, Sabar tho Ndra. Perutku masih ndak bisa di kompromi iki.” Balasnya dengan logat jawa kental.

“Ya sabar sih, Cuma udah hampir sejam loh.” Gue gelengkan kepala lalu kembali beranjak masuk ke kamar, sambil menunggunya selesai mandi.

Hari senin ini adalah hari pertama kami masuk ke lembaga kursus yang jarak dari tempat tinggal kami kurang lebih 55 menit ditempuh dengan komuterline. Setelah transit di dua stasiun akhirnya gue dan alvin tiba juga di depan gedung bercat putih setinggi empat lantai.

“Vin ayok! 3 menit lagi jam 8.” Ujar gue ke alvin sambil masuk kedalam dengan berlari kecil ketika menoleh kebelakang, gue lihat alvin tergopoh menyusul gue.

Gue buka pintu slide kaca di lantai 3, lalu masuk kedalam di susul alvin setelahnya.
Di dalam ruang kelas ini, gue lihat semua kursi sudah penuh terisi orang-orang, begitu masuk kedalam gue langsung posisikan duduk begitu melihat dua kursi kosong di baris paling belakang, sedangkan Alvin duduk di sebelah kiri gue.

“Untung aja sampe pas jam 8. Hffffttt..” batin gue.

Tak berselang lama kami duduk, terdengar slide pintu dibuka dan tampak masuk seorang perempuan yang gue terka berusia sekitar tiga puluhan. Ia berjalan ke meja paling depan menandakan kalau perempuan berambut hitam sebahu yang diikat rapih itu adalah sensei atau guru pengajar kami.

Ketika sensei tengah menjelaskan perkenalan singkat dengan bahasa inggris, karena ini baru awal dan tidak semua dari kami mengerti bahasa jepang, gue sedikit teralihkan dengan memperhatikan tampak belakang orang-orang di dalam kelas ini.

“I am Yunna Sato, you can call me sensei Yunna .I’m in charge in this class. I welcome all of you to talk to me whenever you have question or concern. Beside me, there’s another teacher for this class, his name is Mr.Fukada” Ucap Perempuan atau sensei kami memperkenalkan dirinya, sambil menyebut nama guru lainnya yang akan mengajari kami.

“And after this, it’s your turn to introduce yourself, Okay.” Lanjutnya.

Dan mulailah perkenalan masing-masing dari kami, dimulai dari kursi baris paling depan. Ketika mulai di baris kedua paling kanan, tampak seorang perempuan yang mengenakan kaos outih dengan balutan kardigan warna krem dan celana jeans hitam, berdiri lalu berjalan kedepan dan menghadap arah kami. Rambut hitamnya yang beberapa centi diatas bahu itu tampak dibiarkan tergerai.

“Dia, enggak salah lagi Itu kan dia! Berarti waktu baru tiba di bandara haneda yang gue lihat beneran perempuan itu, sigh!” Gue bergumam, sambil masih berusaha mencerna takdir pertemuan yang tidak disengaja untuk yang ketiga kalinya dengan perempuan yang balpennya gue pinjam di kantor kedubes jepang di jakarta hampir dua bulan lalu.

“O iya, Balpennya.” Gue refleks mengingat dan seketika membuka resleting tas selempang berukuran sedang warna biru navi, merogoh bagian dalam untuk mencari balpen tersebut.

“Ah, ini dia ketemu.” Gue ambil balpen hitam yang gue genggam diantara ibu jari dan telunjuk tangan kanan, mengeluarkannya lalu menutup kembali resleting tas.
Dan dia pun mulai memperkenalkan dirinya.

“Good morning everyone. My name is Berlian Maheswari, you can call me “Anna”. I’m coming from Yogyakarta, Indonesia. In my spare time, I like to draw, read, and listen to music. I’d been in love with Japan since I was a kid from anime and manga. To come and study here was one of my biggest dream. My other dream was to fulfil my late father’s wish, to be a dependable doctor that helps everyone with no exception. Here I’ll do my best, so I don’t let down everybody’s waiting for me at home. That’s all. Thank you!”Jelasnya.

“Buset! lengkap bener, he he.” Gue menyunggingkan sedikit dua ujung bibir.

“Oh, jadi nama dia Anna.”

 Saat dia memperkenalkan diri barusan, gue sengaja memperhatikan secara saksama, bermaksud agar dia melirik ke arah gue lalu setidaknya mengingat gue yang pernah bertemu dia sebelumnya. Namun sampai dia selesai bicara dia tidak sekalipun melihat ke arah gue, pandangannya hanya tampak lurus ke dapan sambil sesekali menunduk kebawah.

 Kemudian sesi perkenalan kami semua pun selesai, yang terakhir ditutup oleh alvin. Dari sini akhirnya gue tahu jika dari dua puluh siswa di dalam kelas ini hanya 4 orang yang berasal dari indonesia. Yaitu gue, alvin, anna juga seorang perempuan lagi asal bandung bernama Rima. Sisanya berasal dari beberapa negara asia lain, seperti malaysia, thailand, philipina, vietnam, india taiwan serta dari jepang sendiri.

 Hampir empat jam sudah hari itu kami memulai pelajaran dasar bahasa jepang di lembaga kursus ini. Usai sensei keluar ruang kelas di susul siswa lainnya, gue beranikan diri untuk menyapa dia. Jelas tujuan utamanya adalah mengembalikan balpen dia.

“Anna!” sahut gue sesaat sebelum ia menuju pintu keluar kelas.

Dia menoleh ke arah gue sambil kernyitkan dahi.

“ya, ada apa?” Ucapnya datar.

“Mmmm, Kamu ingat aku?”

“Setau aku namamu Endra kan? Dan kita sama-sama dari indonesia.”

“Iyasih, tapi bukan itu. Maksud aku, kamu inget nggak? Waktu di kedubes jepang di jakarta aku yang pernah pinjam balpen hitam milik kamu?”

“Emmm… O iya, iya. aku baru ingat. Oh itu kamu toh?”

“he he, iya itu aku. O ya ini aku balikin balpen kamu” Gue sambil menyerahkan balpen hitam milik dia yang sedari tadi gue taruh di dalam saku sebelah kanan celana abu-abu tua gue.

“Makasih ya, untuk balpennya. Tempo hari itu pas aku mau balikin langsung kamu udah enggak ada di ruang tunggu. Akhirnya aku simpan, dan enggak nyangka malah ketemu lagi disini.”

“He, iya sama-sama.”

“By the way, salam kenal, nanti kita sambung lagi ngobrolnya.” Tutup gue, sambil melirik alvin yang sedari tadi memberi gue kode dari balik pintu, meminta gue untuk segera keluar dari ruang kelas dan pulang.

“OK” balasnya singkat sambil anggukan kepala.

Dan gue pun beranjak keluar meninggalkan Anna yang masih berdiri di balik pintu.

Bagikan

About Thyandi

Thyandi

Thyandi

Indonesian Randoms Bloggers.

 Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga  dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.

Arung Nadir Quotes!

 “Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”

Recent Post!

Laman Iklan!