
Akasia And The Secret Door (Bagian 3)
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
– (Side Story About Alvin) –
Baru saja kami menaiki komuterline dari Stasiun Shinagawa, tidak seperti pagi tadi saat perjalanan berangkat, siang ini suasana di dalam kereta tidak begitu padat hanya ada beberapa orang di dalam gerbong, kebanyakan dari mereka adalah anak sekolah, gue terka siswi sekolah menengah atas karena tampak dari seragam yang mereka pakai persis seperti apa yang pernah gue lihat di film live action jepang, bedanya saat ini yang gue lihat bukan di layar film melainkan di realita dan itu terkadang jadi salah selintas perasaan yang masih buat gue seperti terbangun dari sebuah mimpi kalau gue ada disini, di jepang.
“Heh, Ndra. Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi itu lho?” Tanya alvin tiba-tiba saat gue baru saja sekitar dua menit rebahkan kepala di sandaran kursi warna biru navi empuk dalam kereta ini.
Hemm…
Gue pura-pura nggak dengar pertanyaan dia, sambil memejamkan kedua mata dengan kedua telapak tangan diatas ransel yang gue posisikan di bagian depan badan.
“Wuh! Koen jangan belagak amnesia gitu ndra, nanti beneran loh.”
Gue mendadak mengerjap dan menoleh ke kanan ke arah alvin “Ya, nggak gitu juga vin. Malah nyumpahin.” Gue sikut pelan lengan dia.
Dan kami pun sama-sama tersenyum
“Ceritanya panjang vin, nanti di apato gue ceritain deh ke elu.”
“Aku penasarannya sekarang e, perjalanan masih lama ini sampenya.”
Sesekali ia masih saja bicara dengan logat malang kental yang terkadang buat gue tersenyum sendiri karena cara bicara dia itu lucu, juga AKU – KAMU nya yang buat gue terasa sedikit canggung saat ngobrol dengan dia.
“Jadi gini loh vin, singkatnya gue pertama kali ketemua dia, cewek itu pas di kedubes jepang di jakarta. Enggak sengaja sih sebetulnya itu, awkwrd gitu lah. lalu gue beranikan pinjam balpen ke orang yang ada disitu.”
“Dan orang yang balpennya elu pinjam, si cewek itu?” Potong alvin, sambil sesekali memebtulkan letak tas biru navi di depan pangkuannya, sedang gue menjelaskan sambil sesekali memperhatikan orang-orang di dalam gerbong kereta ini.
“Yap, elu bener banget. Nah, abis itu gue dipanggil ke dalam begitu nggak lama keluar, si cewek itu udah nggak ada di ruang tunggu, vin.”
Alvin mengangguk, dengan gesture sok serius, namun dengan mimik lugu khasnya.
“Lalu, elu bilang nggak cuma sekali ketemu dia, terus, terus?”
“Ya, nggak terus, terus, gue bukan kang parkir, vin.”
Dan kamipun tertawa, tanpa sadar beberapa orang mengalihkan pandangannya ke arah kami.
Ssstt.. gue beri isyarat ke alvin.
“Ya, lalu kedua, saat gue baru aja tiba di haneda dan mau ambil kopor, nah, disitu gue selintas lihat dia, gue sempet sih berusaha kejar dan manggil dia namun keburu kehilangan dia karena rame banget kondisinya waktu itu.”
“Mmm, ya ya. Saiki wes ngerti aku.”
“Ngomong opo tho masee…” ledek gue
Alvin pun tersenyum lebar.
Dan kereta komuterline yang kami tumpangi pun melaju sampai berhenti sejenak di stasiun kami transit, untuk kemudian berpindah kereta dan melanjutkan pulang pulang menuju apato.
Satu lewat tiga puluh lima menit, saat gue lirik angka digital arloji yang tersemat di pergelangan tangan kiri gue, begitu masuk kedalam buru-buru gue ambil air wudu untuk segera menunaikan salat duhur, sedangkan alvin langsung mengambil tatami, meletakan bantal lalu merebahkan tubuh gempalnya.
“Vin, gue yakin kalo tatami itu bisa ngomong, dia bakal lambaikan tangan ke kamera karena udah nggak kuat lagi di timpa elu.” Canda gue sambil membenarkan lipatan sarung yang gue pakai, sesaat sebelum gue mulai salat persis dua langkah di samping kanan dia.
“Biarin, ndra. Biar mati sekalian ni tatami” Jawabnya enteng sambil meringis.
Usai salat serta membereskan sarung dan sajadah, gue posisikan tatami gue kemudian rebahan di sebelah alvin, gue perhatikan dia secara saksama, gue lihat gesture yang tidak biasa.
“Vin, elu kenapa? Lagi ada masalah kah?” tanya gue sambil melirik dia yang tampak memegang gawai dan tampak foto keluarga dia.
“Ndak apa-apa, ndra.”
“Elu mah udah kek cewek aja, nggak apa-apanya itu ya ada apa-apa. Kelihatan kali vin? Coba cerita ke gue sapa tau elu bisa lega jangan elu simpen sendiri, kita kan bakal lama disini dan satu-satunya kawan gue ya cuma elu, vin.” Pancing gue.
“Gue kangen sama ibu dan kakak-kakak gue di malang Ndra.” Ujarnnya.
Degh….
Tetiba pikiran gue menerawang rasa yang sama, mengingat orang tua serta kedua adik gue di kampung halaman nun jauh di Bandar Lampung sana.
“Sama vin, gue pun, rindu keluarga gue” gue tepuk pelan bahu kiri dia.
“Di satu sisi, sejujurnya gue senang dan bahagia bisa sampai sini, Ndra. Namun, di sisi lain ketika gue ingat ibu gue dan semua pengorbanan beliau dalam menyemangati gue sampai bisa ada di titik ini, sediih aja gitu rasanya. Ibu gue cuma sendiri di rumah, kakak gue hanya pulang seminggu sekali jenguk beliau karena udah berkeluarga.” Jelasnya.
“Sendiri?” sebuah kata refleks terucap dari bibir gue.
“Iya ndra, ibu dan ayah gue udah lama pisah, saat itu gue kelas satu smp.”
Gue menatap iba, gue sedikit nggak menyangka jika dibalik sosoknya yang ceria ada “kegelapan” bayang masa lalu yang bila saja itu menimpa gue, belum tentu gue bisa tampak setegar dia. Dari sini gue menyadari satu hal jika apa yang terlihat oleh pandangan mata belum tentu menyiratkan sebuah realita. Pikiran serta hati manusia seolah di ciptakan dengan ruang terdalamnya masing-masing.
Dari cerita dia selanjutnya gue pun akhirnya tau jika ibunya sejak perpisahan dengan ayahnya, Ia Ibundanya alvin memulai wirausaha dengan membuka toko kecil yang menjual perlengkapan alat tulis. Beliau memutuskan untuk tidak menikah lagi sampai saat ini, menjadi sosok ibu sekaligus ayah, hal itu membuat gue mensyukuri keadaan keluarga gue saat ini. Satu kata yang terkadang luput bahwa rasa syukur mestinya telah mengajarkan hal-hal sederhana tentang bagimana mestinya kita bisa lebih memahami perasaan orang lain, terlebih orang yang ada di dekat kita.
“Maaf vin, kalo kadang becanda gue kelewatan. Gue salut sama lu sama semua kegigihan dan ketegaran lu dalam menyikapi semua kesedihan yang ada di dalam diri lu. Insya allah gue bakal berusaha untuk menjadi bukan hanya sekadar kawan melainkan sosok keluarga bagi lu, seenggaknya selama kita disini, mari kita berjuang sama-sama.” Ujar gue sambil bangun dari tidur, duduk dan mengusap pelan bahu dia
“Ganbarimashou!!!” Gue sambil menggangkat dan kepalkan kedua telapak tangan.
“Yoooosh!!” Tambah alvin sembari kini tampak segurat senyum melengkung dari bibirnya.
Hari itu, kelak mungkin akan jadi sesuatu hal yaang akan kami kenang di masa depan.
Indonesian Randoms Bloggers.
Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.
“Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Tring….. Tring…. Pijar redup lampu biru, sayup-sayup suara
Terdengar nada pemberitahuan chat masuk di group alumni
Jakarta, Juni 2021… Cahaya mentari pagi menyingsing dan
Aku baru saja memarkirkan motor matic hitamku di
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk