CERBUNG

Natsu No Hanami (Part 5)

– (Somewhere Between Rainbow And Sunset) –

 Tak terasa hampir genap dua bulan gue dan alvin tinggal di jepang, selama itu pula hari-hari kami isi dengan belajar dan belajar, seperti komitmen yang sudah gue niatkan gue dan alvin punya banyak cara pandang yang sama untuk tidak menyiakan waktu dan berusaha agar kelak kami bisa bukan hanya sekadar lulus namun juga mesti meraih nilai yang memuaskan. Kami sepakat sekalipun belajar adalah yang utama, kami juga perlu untuk menjaga pikiran dan suasana hati agar selalu sehat, untuk itu tiap hari minggu dari pagi higga sore kami gunakan untuk keluar sekitaran apato dan menyusuri tempat-tempat terdekat yang mudah dijangkau dengan bersepeda atau komuterline yang jarak tempuhnya tak lebih dari satu jam.

 Seperti halnya hari minggu ini, dari semalam kami sudah menentukan tempat mana yang akan kunjungi di esok hari, dan pilihan kami jatuh pada Ueno Park atau Taman Ueno yang setelah dari informasi yang gue kumpulkan hanya berjarak kurang lebih 45 menit perjalanan. Mestinya sesuai rencana kami akan berangkat pukul 7 pagi tapi karena si alvin yang begadang semalam membaca Manga di Shonen jump edisi terbaru, yang buat gue agak sulit membangunkannya kala pagi tadi. Setelah beberapa kali gue “cipratin” air barulah ia bangun dan beranjak mandi, sedangkan gue sudah berpaikan rapih dan siap untuk berangkat, penunjuk jam dinding di kamar menunjukan pukul delapan lewat tiga puluh menit.

“Okee! Lu udah siap kan vin?” tanya gue begitu dia beres merapihkan barang yang akan dibawa ke dalam ransel abu-abu muda miliknya.

“Yosh!”

“Dasar, Wibu!” balas gue yang merespon kebiasaan dia yang sering mengucap kalimat “Yosh!”

Setelah dirasa semua persiapan komplit, kami segera saja keluar apato, menuju parkiran sepeda dan mengayuh sepeda kami, perlahan meninggalkan komplek bangunan apato yang setinggi dua belas lantai itu.

“Ndra! Kita balapan yuk?” Seru alvin tetiba ke gue, sambil kami mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang.

“Yakin? Lu nantangin gue balapan?” gue menengok sedikit ke arahnya, sepeda kami berjalan seimbang dia ada di sisi kanan gue.

“Terus yang menang dapat apa nih?!”

“yang menang mesti traktir makan pas di ueno nanti deh, gimana?” jawabnya.

“Oke! Siapa takut! Hitungan ketiga mulai ya, siapa yang duluan sampai di stasiun kamata dia yang menang, setuju!”

Alvin mengacungkan jempol tangan kanannya.

“Satu…”

“Duaa..”

“Ti….ga!”

 Di menit-menit awal gue tertinggal sedikit dibelakang alvin, gue agak tak menyangka kalau dia cukup bertenaga dan lihai mengendarai sepeda, namun gue nggak mau kalah, perlahan tapi pasti gue mulai berusaha menyusul dia sampai posisi kami sejajar dan saat stasiun sudah tampak di depan kami kira-kira lima ratus meter gue mengayuh sepeda dengan kekuatan penuh dan akhirnya berhasil melampaui alvin yang hanya selisih sedikit di belakang gue.

“Yeah!! Huuuu!” gue refleks teriak saking bersemangatnya.

Hoafffhh.. hufffht.. Terdengar napas alvin yang terengah, begitupun halnya gue yang berusaha merehatkan ritme napas usai hampir sepuluh menit balap sepeda.

Tampak beberapa orang yang lewat di sekitar kami, melirik ke arah gue yang tadi berteriak. Gue mendekat ke arah alvin dan mengusap atas bahu kanannya.

“Uhuy, lumayan gratis makan, he he.”

“Uh! Padahal dikit lagi aku menang” rutuknya

“Anda belum beruntung kawan!” timpal gue

“Yoweslah! Next time aku pasti balas ndra.” Ujarnya sambil tersenyum
.
 Kami turun dari sepeda dan memarkirkannya di area khusus untuk memarkir sepeda dengan penanda gate elektronik berkarcis dengan lock elctrick yang berfungsi sebagai pengaman untuk mengunci roda depan sepeda kami, disini tampak ada sekitar 4 sepeda lain yang terparkir selain kami.

“karcis jangan lupa taruh tempat aman, vin.”

“oke, oke ndra.” Balasnya sambil memasukan karcis ke bagian paling depan saku ranselnya, begitupun halnya dengan gue.

Sejak dua bulan berlalu hingga saat ini, gue masih saja merasa takjub dengan kultur negara ini, perihal ketertiban di muka umum, kerapihan dan disiplin waktu sarana prasarana serta pelayanan publiknya yang istimewa membuat gue terkadang berangan “Kapan ya, indonesia bisa minimal mendekati sekeren ini.”

 Usai mentap kartu elektronik, tak perlu waktu lama untuk kami masuk ke dalam kereta karena kami sudah meyiapkan segalanya termasuk jadual jam kedatangan kereta. Seperti biasa dan sejujurnya baru gue sadari jika seringnya tiap naik komuterline, gue dan alvin duduk berhadapan, hanya sesekali duduk bersebelahan. Karena alasan sederhana, yaitu untuk memudahkan kami mengobrol atau sekadar bercanda seperlunya sepanjang perjalanan.

 Entah berapa menit saat kami meningggalkan stasiun kamata, tiba-tiba tampak alvin berdiri dan berbicara ke seorang remaja perempuan berambut panjang dengan Blouse krem dan bawahan celana jeans warna biru muda. “Sumimasen” ujar Alvin. Sambil menunjuk ke arah tas selempang berbahan katun warna hijau yang dikenakan si perempuan. Ia menengok ke arah alvin dan seketika melihat ke arah yang dimkasud dan segera saja perempuan itu menyadari maksud alvin yang memberitahu jika resleting tas tersebut setengah terbuka dan tampak ujung gantungan dompet keluar sedikit dari dalamnya. Perempuan itu lalu memasukan bagian dompet yang keluar dan menutup resleting tas nya.

“Arigatou gozaimash” Ucap si perempuan.

“Hai” Balas alvin sambil mengangguk. Lalu ia kembali memposisikan duduk.

 Gue yang memperhatikan dia sejak tadi sedikit takjub dengan kemampuan bahasa jepang serta keberanian si cowok yang tampak pendiam ini. O ya yang belum gue beritahu adalah, di banding gue, alvin ternyata pernah kursus bahasa jepang sebelumnya dan telah lulus test JLPT N5, berbeda dengan gue yang mulai pengetahuan bahasa jepang dari nol dan baru disinilah gue mulai belajar.

Tak berapa lama terdengan anouncer suara wanita dari speaker gerbong kereta yang kami tumpangi menyebut stasiun pemberhentian berikutnya yang tak lain adalah stasiun tujuan kami, Okachimachi Station.

 Begitu pintu kereta terbuka, kamipun turun lalu melanjutkan langkah keluar stasiun. Tak sampai sini, kami mesti berjalan sekitar beberapa ratus meter untuk sampai di tujuan kami, Ueno Park salah satu Icon wisata yang ternama di Tokyo.

 Angka digital arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanan gue menunjukan pukul 09.45 usai berjalan sekitar tujuh menitan, berarti kurang lebih sekitar 45 menit kami telah menempuh perjalanan dari apato sampai areal taman ueno.

“Ndra!” Alvin menepuk pelan bahu kanan gue. “Sugoiiii!” Lanjutnya.

 Gue memandang takjub pula, seperti alvin gue spechless karena ternyata tempat ini lebih indah dibanding dari apa yang gue lihat di internet. “Cakep ya vin?” balas gue. Dia menganguk.

 Karena ini hari libur, tempat ini tampak ramai oleh pengunjung yang memadati beberapa sudut area taman. Barisan pohon prunnus serulata membuat tempat ini semakin terlihat indah.

 Kami mulai berkeliling, tak lama begitu tampak bangunan yang masuk ke dalam List gue, yaitu museum science and natural kami masuk ke dalam, melihat-lihat. Selama disini gue nggak lepas dari Binder Note yang sengaja gue bawa untuk mencatat sekiranya ada pengetahuan dan atau hal penting yang bisa gue dapati disini. Sampai alarm waktu penanda salat duhur di gawai gue bergetar.

“Vin, udah waktunya gue mesti salat nih?!” ujar gue.

“Bisa minta tolong untuk elu nanya ke salah satu pengunjung nggak, tempat untuk salat?”

“Oh, yo wes ndra. Sebentar ya.” Jawabnya sambil tampak berjalan ke sekumpulan remaja lelaki, dan bertanya ke mereka perihal apa yang gue maksudkan tadi. Nggak lama, dia kembali mendekati gue.

“kata mereka, dekat area toilet sana ada ruangan semacam prayer room ndra yang biasa dipakai ibadah untuk wisatawan muslim.”

“O gitu ya vin, makasih ya udah di tanyain. O ya, elu mau nunggu disini atau dekat tempat itu.”

“Aku tunggu di sana aja ya?” Ia menunjuk ke salah satu banngku besi warna hitam tepat dibawah salah satu pohon berjalarak kurang dari sepuluh meter dari posisi kami berdiri.

“Okelah, gue tinggal dulu vin. Oya gue nitip tas ya?”

“Oke, ndra.”

 Dan gue pun bergegas menuju tempat yang di maksud untuk menunaikan salat duhur. 15 menit berlalu, gue kembali menuju alvin yang tengah duduk sambil menikmati sebuah minuman kaleng dingin kemasan warna putih-biru. Gue sengaja berjalan dari arah belakang dia.

“Oy!! Minum sendirian aja ya?”

“Eh! Duh, bikin kaget aja koen ndra! Hehe. Iya nih, ini elu udah gue beliin juga ndra.”

“Duh, jadi enak nih vin, ehem! Makasih ya?”

“Makan traktir!” gue sambil berdehem dan memberi isyarat perihal pertaruhan kami saat balapan sepeda.

“Ye, elu masih inget aja, gue kira udah lupa.” dia meringis lebar.

“Urusan perut mana mungkin lupa.”

Kamipun tertawa.

“Tadi waktu gue beli minum ini di Vending mesin, gue lihat ada minimarket gitu, makan beli disitu aja gimana?”

“Atur aja deh, bebas vin. Yuk lah!”

 Kami berjalan menuju minimarket yang dimaksud alvin, gue mengikuti dia yang mengambil salah satu ramen kemasan dibungkus sterofoam. Begitu dia bayar ke kasir, makanan kami di seduhkannya lalu diberikan lagi ke kami.

“Arigatou!” Ucap gue ke pelayan lelaki yang mengenakan seragam dan topi warna hijau gradasi putih.

“Hai!” balas si pelayan.

 Kami kemudian menikmati ramen instan tersebut di meja bulat yang ada di depan minimarket ini. Selesai makan kami melanjutkan untuk berkeliling. Tak luput mengabadikannya dengan berfoto. Gue nggak menyangka gue kira alvin hanya membawa kamera saku digital, yang dipakai tadi muli dari kami tiba dan di museum tadi, ternyata dia juga bawa sebuah tripod warna hitam yang bisa diatur maksimal dengan tinggi 1 meter. Dari kamera dialah beberpa moment berharga kami di abadikan. Mulai dari foto di samping patung samurai dan anjingnya yang terbuat dari perunggu dan sekitaran kuil Ueono Toshogu, sebuah kuil shinto yang masih termasuk di dalam areal taman yang luas ini.

 Sampai waktu tak terasa beranjak hampir menuju angka lima sore saat kami tengah rebahkan badan di rerumputan hijau yang khusus di sesediakan untuk bersantai. Lamunan gue pecah tetiba si alvin menepuk bahu kiri gue.

“Ndra, ndra! Itukan si anu..”

“Anu, anu nya siapa vin?” gue terkekeh, lalu perlahan bangkit dari tidur dan posisikan duduk bersila disebelah dia.

“Itu loh! Itu si Berliana bukan sih ?”

“Anna, maksudmu?”

“Iya! itu dia bukan, ndra?” tegasnya sambil menunjuk ke arah jam dua belas dari posisi kami.

“Lah, iya kayaknya sih vin.” Gue sambil memicingkan mata.

“Samperin yuk.” Lanjutnya.

“Dih, malu vin!”

“Ah, elu kan kenal dia lebih dulu moso malu, piye.”

 Gue berpikir sejenak sebelum akhirnya berdiri dan memutuskan seperti yang alvin sarankan, mendekat ke arah Anna. Dari kejauhan tampak dia berdua dengan seorang perempuan jepang yang wajahnya tampak familiar bagi kami. Alvin langsung paham kalau perempuan yang ada di sebelah Anna itu tenyata merupakan teman sekelas kami juga.

“Haloo!.” Sapa alvin tiba-tiba

“Eeee…” Minako, perempuan yang bareng ana menimpali, ia tampak sedikit terkejut.

“Hai!” Sapa gue ke Anna sambil sedikit menunduk dan telapak tangan kiri memegang leher, kikuk.

“Eh, kalian.” Jawab Anna.

“Tadi si alvin yang pertama liat kalian disini, gue juga nggak nyangka bisa ketemu kalian disini.” Jelas gue.

Alvin mengajak minako mengobrol, ia menyolek paha kanan gue sebagai isyarat agar gue mengajak anna ngobrol juga.

Kami berempat akhirnya mengobrol masing-masing. Alvin dengan minako sedangkan gue dengan ana. Kami duduk dibawah rumput berempat.

“Niji..!” Minako tiba-tiba menunuk ke arah langit, yang tampak disana sebuah lengkung pelangi terbentuk dengan indahnya.

“Sugoiii!” Alvin menimpali.

 Anna refleks ikut menoleh, menengadah ke pemandangan pelangi tersebut. Gue menoleh ke kanan melihat dengan jelas sebagian wajah dia dari samping yang sebagian tertutup rambut hitamnya.sesaat sebelum gue akhirnya mengalihkan pandangan ke pelangi itu.

 Beberapa detik lalu, saat gue lihat wajah anna yang beradu dengan pantulan sinar matahari kala langit hendak beranjak senja. Warna oranye keemasan berbalut gradasi jingga. Pelangi dan dia tampak sama-sama menajubkan.

Tunggu, ah! Gue ngga seharusnya berpikir begini.

 Senja itu, walaupun nggak lama kami mengobrol, gue menyadari satu hal bahwa ternyata dia, Anna. Tak seserius seperti yang gue lihat di dalam kelas, gue seolah melihat potongan kepribadiannya yang lain, yang mungkin menjadi salah satu alur perjalanan takdir pertemuan kami sejak pertama kali kami di pertemukan.


Bagikan

About Thyandi

Thyandi

Thyandi

Indonesian Randoms Bloggers.

 Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga  dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.

Arung Nadir Quotes!

 “Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”

Recent Post!

Laman Iklan!