
Akasia And The Secret Door (Bagian 3)
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk dirayakan? lalu bagaimana dengan kesedihan? ketauhilah di kota ini sudah sejak lama orang – orang merayakan kesedihannya tiap akhir pekan.
Di tiap tempat dan sudut kotanya kau akan dengan mudah menjumpai orang yang tengah merayakan kesedihan dari segala usia.
Di pasar, di kedai kopi dengan janji – janjinya, di warung padang, di lereng bukit bahkan di tepi pantai. Bagi mereka, selalu ada tempat untuk kesedihan meluap melalui sendi kehidupan. tak terkecuali bagi lelaki itu.
kalau biasanya remaja seusianya merayakan kesedihan akhir pekan dengan memenuhi kedai kopi, tapi tidak bagi lelaki itu, ia lebih memilih untuk melihat orang – orang yang sedang marayakan kesedihannya, dimanapun itu.
kadang ia berjalan menelusuri pasar yang ramai dengan tangisan ibu – ibu yang sedang belanja, tukang panggul, anak-anak kecil, lalu sekadar melintas ke kedai kopi yang sejauh dilihatnya remaja – remaja tengah terisak dan terbenam dengan bersamaan raut sedihnya, laki-laki maupun perempuan.
lalu seringnya laki – laki itu sempatkan singgah sejenak di warung kopi kang Awin. Dilihatnya bapak-bapak yang sedang beradu strategi diatas papan catur, sambil sesekali berusaha menyumbunyikan kegegalan menutupi muka-muka mereka yang sembab atas nama kesedihan. Begitu juga dengan bapak-bapak di meja berbeda, kartu gaple di tangan mereka lembab oleh tangan mereka yang baru saja menyeka air mata yang tipis merembes melalui celah kedua mata.
Menjelang senja, laki – laki itu berjalan meyusuri garis pantai dengan pantulan cahaya kuning keemasan yang beradu dengan deru ombak, sampai beberapa meter sebelum sampai di dermaga tua yang sudah tidak digunakan lagi oleh warga, karena papan-papan kayu kelapa yang menopang landasan kaki nya telah banyak yang terhempas ke laut yang kini hanya tinggal menyisakan empat batang penyangga kayu kelapa, dan beberapa papan kayu yang menutup tak beraturan dengan beberapa paku yang sudah karat.
Laki – laki itu berdiri, pandangannya terhenti kala melihat seorang perempuan berbadan mungil yang mengenakan sweater merah marun juga syal berbahan rajut warna senada yang melingkar di lehernya. Rambut perempuan itu yang kekira dua centi dibawah telinga dibiarkannya tergerai, warna kilau hitamnya beradu dengan angin senja dan tampak mempesona, walau tidak menutupi fakta bahwa ia tengah menangis terisak sambil duduk memeluk lutut, wajahnya setengah terbenam, menyisakan sorot mata sayu yang memandang kearah lautan lepas.
Bersamaan sang mentari yang nyaris rebah diujung cakrawala, tangis perempuan itu pun berhenti, sampai beberapa menit berlalu, ia tidak menydari jika tak jauh dari duduknya seorang lelaki sedang memperhatikannya sedari tadi. Belum sempat laki-laki itu mendekat, walau untuk sekadar memberikan tisyu atau mungkin telapak tangan untuk menyeka sisa air mata di pipi perempuan itu yang belum sepenuhnya tuntas, perempuan itu sudah berdiri dan beranjak dari tempatnya kemudian berjalan keluar seolah menghilang di tengah barisan pohon bakau.
Laki-laki itu masih penasaran dengan si perempuan, tapi ia sadar jika akhir pekan telah habis. Dengan kata lain, ia mesti menunggu satu pekan kedepan untuk ke tempatnya ini lagi, itupun jika ia beruntung masih melihat lagi sang perempuan yang dilihatnya itu, tapi ada sebentuk perasaaan aneh yang muncul tiba-tiba saat melihat sang perempuan barusan dan perasaaan itu pula yang membuatnya tabah untuk menunggu pekan depan dan meyakini jika si perempuan pasti kembali ke dermaga tua itu lagi.
Satu minggu kemudian …
Entah sejak kapan lelaki itu tiba di dekat dermaga, padahal waktu baru akan memasuki senja dan perempuan yang ia tunggu pun belum sedikitpun tampak dalam pandangannya. Namun buah kesabaran dan keyakinannya tidaklah sia-sia, sebab beberapa menit menunggu tampak sosok perempuan mungil yang dilihatnya minggu lalu tengan berjalan perlahan ke arah dermaga, dengan tenang perempuan itu duduk diatas pasir pantai yang berwarna pastel mengkilat diterpa cahaya mentari yang mulai meredup jingga. Laki-laki itu berdiri lebih dekat dengan si perempuan, layaknya detektif, sampai perempuan itu pun tidak menyadari keberadan si lelaki yang berdiri tak jauh darinya.
Awalnya perempuan itu tampak tersenyum bersamaan waktu senja yang turun pelan-pelan, sampai ketika ujung jari telunjuk tangan kirinya mengusap melingkar pelan cincin emas putih polos yang tersemat di jari manis kanan si perempuan, ia mendadak muram detik berikutnya tangispun pecah dari kedua bola matanya yang sayu itu.
perempuan itu masih terisak sedangkan sang lelaki masih memperhatikan dari posisi berdirinya. Saat beberapa detik kemudia si lelaki tampak berusahan mendekat ke arah sang perempuan, langkahnya tiba-tiba terhenti kala tangan kanan si perempuan yang merogoh saku sweater abu-abu muda yang ia kenakan sore itu. laki-laki itu tetiba terdiam, kaku. Kedua pandangan si lelaki kini hanya mampu memperhatikan cincin lain yang ternyata diambil dari saku sweater si perempuan.
Sampai ketika dua mata laki-laki itu melihat dan mengeja sebuah deretan kata yang membentuk sebuah nama seorang laki-laki yang mungkin menjadikan alasan kesedihan si perempuan, sebuah nama yang membuat degup jantung si lelaki seolah berhenti seketika.
“Abimanyu” nama yang terukir di cincin yang dipegang si perempuan, nama yang membuat lelaki itu tiba-tiba berubah setipis kabut dan perlahan menghilang ditelan senja, meninggalkan si perempuan yang bernama Aruna yang baru saja berhenti dari tangisnya.
Indonesian Randoms Bloggers.
Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.
“Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Tring….. Tring…. Pijar redup lampu biru, sayup-sayup suara
Terdengar nada pemberitahuan chat masuk di group alumni
Jakarta, Juni 2021… Cahaya mentari pagi menyingsing dan
Aku baru saja memarkirkan motor matic hitamku di
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk