CERPEN

Surat Dari Malaikat

 Senja perlahan mulai tampak diatas langit Ibu kota negara Katalysium. Saat Lalu lintas jam pulang kantor sedang padat-padatnya.

“Tumben ya macetnya sampai nggak gerak gini!” rutuk seorang tukang ojek online berjaket hijau ke seorang rekan sesama pengemudi ojek online di sebelah kanannya.

“Biasa palingan itumah depan ada yang mau lewat.” Timpal abang ojol di sebelah yang sedang membetulkan letak helm warna putih yang dikenakannya.

“Jangan bilang  elu lagi mikir kalo yang lewat Si…..”

“Komo!” jawab mereka serempak.

Seorang dari mereka tampak merogoh kantong jaket sebelah kanan, mengeluarkan bungkus rokok berlogo rel kereta, mengambil sebatang lalu membakarnya.

“Eh, bor! Ga bagus tuh ngrokok di jalan, bahaya! Abunya bisa bikin mata pengendara motor di belakang kelilipan.” Sahut abang ojol berhelm hitam.

“Eh, elu mesti tau ya bor! Inikan negara demokrasi. Kalo misal ni ye, ada orang kelilipan abu rokok yang lagi gue isap ya bukan salah gue lah, salah mereka.”

Si anying pake segala bawa-bawa demokrasi. Ia membatin sambil kernyitkan dahi.

“Intinya, kalo mereka sampai kelilipan berati mereka nggak make helm, atau kalopun pake dia nggak nutup kaca helmnya.”lanjut dia, terlihat kepulan asap putih keluar dari bibir hitamnya.

Abang ojol berhelm putih menggeleng heran.

Tuit tuit.. tuiit tuitt…

 Terdengar suara sirine motor gede patroli polisi dari arah samping belakang mereka yang masuk di dalam jalur Busway. Tak berselang lama mereka lewat mengekor di belakanya Alphard hitam berplat nomor RK 18 serta dua sedan hitam mengawal kendaran di depannya. Di Negara Republik Katalysium RK merupakan Plat kendaraan khusus mentri atau pejabat tinggi lainnya.

“Enak bener ya? Jadi pejabat disini. Bisa seenaknya terobos jalur busway!”

“Nggak usah heran bor! Disini kan, peraturan emang seringnya dibuat untuk dilanggar” timpal abang ojol berhelm putih.

“Kira-kira elu tau kagak barusan mobil pejabat siapa?” lanjutnya.

“Kalo dari platnya sih kayaknya………..” Abang ojol berhelm hitam membuang puntung rokok yang diisapnya kebawah.

Tiba-tiba ia memicingkan mata kearah sebuah papan reklame besar di sisi kirinya, spontan abang ojol satunya ikut melirik ke arah sebuah iklan salah satu produsen rokok terpampang jelas dengan beberapa tulisan kapital diatasnya.

LUTUT LAGI LUTUT LAGI, KAPAN KEPALA DIPAKAI.

Dan mereka pun tertawa. 

***

 Di selatan ibu kota Katalysium termasuk wilayah pemukiman warga yang dianggap paling jauh dari kesan kumuh, seorang gadis bermata bulat, pipi tembam, kulit sawo matang berambut hitam seleher tengah mengurung diri di kamarnya. Namanya Kanaya. Hari ini, usianya tepat menginjak kepala tiga, lajang dan tampak depresi karena entah berapa puluh surat lamaran kerja baik offline maupun online yang telah di kirimnya ke beberapa tempat atau perusaahaan yang memasang info lowongan pekerjaan namun jarang ada balasan dari itu semua.

 Pernah sebelumnya, tiga mungkin empat kali ia di panggil untuk tes calon pekerja, namun selalu saja gagal di tahap interview. Perempuan itu selalu mengira jika kegagalannya mungkin karena tampilan fisiknya yang tidak Good looking. Alhasil gelar sarjana ekonomi dari salah salah satu universitas negeri ternama di Katalysium yang pernah di enyamnya itu seolah tak berguna bagi dia, kalau ujung-ujungnya tampilan fisik atau sesuatu yang dianggap menarik dari luar menutupi semuanya.

 Kanaya, perempuan itu bangun dari posisi tidurnya, ia turun dari kasur dengan seprai warna lilac dengan motif bunga diatasnya,  terduduk di lantai sambil memandang ke arah sebuah botol plastik ukuran 100 mililiter berisi cairan pembasmi hama tikus yang dibelinya di toko alat pertanian sepekan yang lalu. Sambil duduk bersila ia raih botol itu, sesaat pikirannya terlihat gamang dan ragu namun sedetik kemudian ingatannya tentang ucapan saudara, teman, bahkan kedua orang tuanya perihal statusnya yang belum juga menikah ditambah dengan tiap kegegalan yang di alaminya membuat dia yakin perihal keputusannya kali ini.

 Dibukanya tutup botol plastik warna hitam itu memutar berlawanan arah jarum jam. Sambil menahan napas, ia teguk habis isi cairan di dalamnya. Kurang dari satu menit, perutnya merasakan sakit yang teramat sangat, seperti tertusuk bersamaan sakit itu menjalar menuju kepalanya yang terasa sangat berat, sesaat sebelum kesadarannya hilang sekilas ia melihat di hadapannya berdiri seseorang berjubah putih dan cahaya terang menyilaukan kemudian tubuhnya pun ambruk di lantai.

 Entah berapa lama kanaya tak sadarkan diri. Ketika membuka kedua kelopak mata, ia telah berada di atas kasur, merasa keheranan sontak ia terduduk sebentar lalu kembali turun dan memegang botol berisi cairan pembasmi hama tikus yang masih utuh. Ia makin merasa janggal sebab ia yakin sepenuhnya jika beberapa saat lalu dengan sadar, ia telah meminum habis cairan yang ada di dalam botol tersebut. Kebingungannya semakin bertambah ketika dua puluh centi dari botol plastik terdapat sebuah amplop putih polos berukuran 10 centimeter persegi yang di bagian depannya terdapat sebuah tulisan “Dari malaikat Untuk Kanaya”

 Dengan telapak tangan yang sedikit bergetar takut, perlahan ia buka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Sambil memegang kertas yang di pegangnya ia mengeja lirih sebaris kalimat yang tertera disana.

Kanaya, kau hanya akan mati setahun setelah bertemu dengan jodohmu.

Awwwh!!

 Kanaya mencubit pipi kirinya, memastikan jika ia tidak sedang bermimpi namun ternyata kejadian yang baru saja dialaminya adalah sebuah kenyataan. Tentu saja walau keheranan serta kebingungan semakin berkecamuk dalam pikirannya, perlahan ia mesti menganggap jika itu bukanlah halusinasi.

“Atau jangan-jangan, sosok yang aku lihat itu memang betulan malaikat?” Ia bergumam.

***

 Beberapa bulan sejak kejadian sore itu, keadaanya tak jauh berbeda, terpuruk. Pernah suatu hari ia iseng untuk membuktikan perihal surat dari malaikat tersebut dengan mencoba percobaan bunuh diri yang kedua. Menggantung lehernya dengan sutas tali di dalam kamar namun lagi-lagi ia kembali ke keadaan semula. Sejak itu barulah ia yakin jika sosok yang dilihatnya kala itu memanglah seorang malaikat. Dengan hal itu, beban pikirannya seolah sedikit berkurang sebab setidaknya kini ia tahu jika kelak di masa depan ia akan menemukan jodohnya dan menikah, walaupun ia tidak tahu kapan saat itu tiba.

 Suatu malam usai membaca sebuah cerita pendek di satu forum literasi online membuatnya seketika pikirannya tergugah. Ia seolah menemukan kembali arti hidup. Hari-harinya yang selama ini di jejali  dengan lewah pikir yang kian lama kian menggunung memicu depresi di dalam dirinya, perlahan namun pasti ia berubah. Seperti sebuah intuisi, hatinya menjadi lebih lapang. Membuatnya menyadari perihal segala sesuatu hal sekecil apapun itu telah ditulis sang Maha Kuasa dan ditentukan jauh sebelum segalanya tercipta. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu cemas tentang apa yang akan terjadi di hari esok sehingga menepikan rasa syukur terhadap apapun yang melekat pada hidupnya saat ini.

 Pagi itu Kanaya terbangun setelah semalam bermimpi melihat pintasan ingatan masa kecilnya kala ia masih duduk di bangku SD kelas 1. Satu kenangan bersama Pramudya, lelaki yang pernah bermain Nikah-nikahan bersama dia, praktis itu membuatnya seketika tersenyum geli. Bagaimanapun yang diingat setelahnya ialah saat kelas 3 SD, Pramudya pindah ikut kedua orang tuanya ke luar negri.

***

  Dari sosok perempuan depresif, pesimistik, pemurung kini Kanaya telah bangkit dan menjadi sosok perempuan inspiratif atas apa yang telah di lakukannya 5 tahun terakhir, yaitu merangkul remaja dari berbagai komunitas dan latar belakang pendidikan yang memiliki visi yang serupa dengannya yaitu membuat satu perubahan kecil untuk katalysium dengan membentuk sekolah dan klinik kesehatan gratis bagi siapapun tanpa pengecualian. Selain ia dan beberapa muda-mudi lainnya juga membuat Bank sampah dalam menyokong pengoperasionalan sekolah dan klinik kesehatan gratis yang ia rintis.

 Tenaga pengajar serta kesehatan disana di dominasi oleh anak-anak muda berintegritas. Donasi pun dibuka namun dengan pengawasan ketat oleh kanaya sendiri yang bekerja sama dengan badan pemeriksa keuangan negara serta lembaga audit keuangan yang kredibel. Ia memastikan dengan sangat detail jika seluruh donasi dari masyarakat Katalysium bebas dari penyelewengan ataupun penyalahgunaan oleh oknum manapun.

 Selain itu, kini Kanaya sudah jauh lebih terbuka dan berani mengemukakan pendapat kepada kedua orang tuanya atas pilihan hidup dia perihal pasangan tanpa menyakiti perasaan kedua orang tuanya tersebut. Namun tentu saja rahasia mengenai Surat Dari Malaikat tetap ditutup rapat kepada siapapun termasuk dari ayah dan ibu nya yang kini pensiunan pegawai negeri sipil. Mereka, orang tua Kanaya bangga atas apa yang telah di capai oleh anak gadis semata wayangnya itu.

 Semakin tenar semakin Kanaya menjadi sering tampil di beberapa acara Talkshow di stasiun TV Nasional juga seiring banyaknya ancaman pembunuhan ia dapati dari pihak-pihak yang merasa terusik atas apa yang ia dan teman-temanya lakukan. Sampai suatu ketika dalam sebuah Demonstrasi besar para mahasiswa di depan Istana Negara, dari barisan masa demonstran, seorang oknum penyusup lelaki menghantamkan sesuatu ke bagian belakang kepala Kanaya hingga membuat ia jatuh koma.       
                                                                       
 Satu bulan berlalu. Di sebuah bangsal rumah sakit saat perlahan kesadaran Kanaya mendadak pulih dan membuka kedua kelopak matanya, di sisi ranjang duduk seorang lelaki seusianya yang tampak menggenggam erat telapak tangan kanan Kanaya dengan kedua telapak tanganya.

“Kau siapa?”

“Kanaya, akhirnya kau telah siuman.” Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca, perlahan ia menggeret kursi hitam yang di dudukinya untuk lebih dekat dengan Kanaya.

“Ini aku, Pramudya. Apa kau masih ingat?”

“Pram, Prra mu dya teman masa kecilku, kamu kah itu?” tanyanya terbata. Kanaya masih tampak lemah.

“Ya, Kanaya. sampai detik ini aku masih ingat perihal cincin bunga sepatu itu. Apakah kau mengingatnya juga?”

Kanaya menganguk pelan lalu tersenyum.

“Aku telah mengikuti tentangmu setahun belakangan ini. Begitu aku tahu atas musibah mengenai kau sebulan lalu, dari Valensi Eden aku langsung terbang kesini untuk menjengukmu.” Jelas Pramudya.

Kedua mata kanaya berkaca-kaca, ia masih belum seutuhnya menyangka jika lelaki yang ada di sisinya adalah bocah lelaki yang dulu pernah menyematkan cincin yang dibentuk dari tangkai bunga sepatu warna merah jambu ke dalam jari manisnya.

***


 Satu tahun kemudian Kanaya dan Pramudya menikah. Tepat ketika sang pelaku penyerangan terhadap Kanaya di vonis hukuman seumur hidup atas dakwaan percobaan pembunuhan berencana. Namun sampai detik ini rumor di masyarkat yang beredar jika sang pelaku hanyalah sekadar Pion dari tokoh utama, atau dalang yang tidak pernah diketahui.

 Malam harinya sebelum terlelap, Pramudya mengecup lembut kening Kanaya usai mereka berdua meminum teh hijau beberapa menit lalu.

“Aku sangat mencintaimu, Kanaya. Dengan ini aku telah memenuhi janjiku dahulu untuk selalu bersamamu sehidup semati.” Bisik pramudya lirih, dengan napas berat sebelum Pramudya ikut terpejam di sisi Kanaya ia tampak berusaha membuka laci paling atas dari lemari setinggi seratus centi yang di cat warna putih yang ada di sisi kasur mereka.

Dari dalamnya, ia mengambil sebuah amplop putih polos berukuran sepuluh centimeter persegi. Sebuah tulisan tampak di bagian depan amplop tersebut.

“Dari Malaikat Untuk Pramudya.” 

-TAMAT-

Bagikan

About Thyandi

Thyandi

Thyandi

Indonesian Randoms Bloggers.

 Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga  dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.

Arung Nadir Quotes!

 “Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”

Recent Post!

Laman Iklan!