
Akasia And The Secret Door (Bagian 3)
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Aku baru sajaa memarkirkan motor matic hitamku di area parkir sebuah kedai. Sambil menaiki anak tangga untuk menuju masuk ke dalam kedai ini, kulihat di dalam suasana cukup lengang. Hanya tampak dua meja terisi sekumpulan remaja lelaki dan perempuan. Mataku tertuju pada deretan meja di ujung sisi kiri dari pintu masuk, berjalan mendekat lalu memposisikan duduk.
Kulepas tas ransel kerja warna coklat ukuran sedang yang sedari tadi ku pakai. Meletakannya di bangku kosong sebelah kanan ku, membuka resleting utama seraya mengambil laptop hitam – silver berikut chargernya dari dalam kemudian meletakan laptop tersebut di atas meja. Ku pasangkan ujung socket charger ke dalam laptop tua ini, sebab ia hanya mampu menyala dalam kondisi sambil mengecharge.
Tiba-tiba, aku sedikit terkejut saat baru aja menutup kembali resleting tas, di hadapanku kini telah berdiri sosok pramusaji lelaki yang mengenakan seragam kedai ini yang di penunjuk depan seragam iatu tertera sederet nama “Sucipto”.Pramusaji kurus dan tinggi dengan model rambut cepmek. Tiba-tiba entah kenapa aku terkekeh sendiri begitu mengeja nama dia dalam hati, mengingat sebuah meme yang pernah ku lihat di media sosial “To! To! Ganjel To!” suara meme itu tetiba saja terngiang di kepala.
“Silakan Mas, mau pesan apa?” Ujar Sucipto sambil menyodorkan kertas menu masakan kedai ini.
“Emmmm….” aku berpikir sejenak sambil membuka perlahan menu yang tertera disana.
“Ubi lelembut krispi nya satu porsi, minumnya saya mau Capuchino Ice ya Mas?” jawab ku ke waitress.
“Itu ubi cilembu, Mas. Bukan lelembut. Mas kira memang ini wahan rumah setan?” Dia meringis.
“Eh, iya sory typo Mas. Canda ya Mas.He he he.” Ku balas sambil tersenyum garing.
Sucipto mengangguk paham, lalu segera saja beranjak menuju ke arah kitchen.
Sambil menyapu pandangan interiorior kedai bergaya Art Deco ini dengan furniture dan cat tembok dominan paduan warna pastel seraya tangan kanan membuka lipatan lapotop lalu mijit tombol Power Onn. Segera saja tampilan muka layar menyala dan memporoses loading halaman menu utama. Setelah menyandingkan Wireless kedai ini, ku buka aplikasi browser chroome untuk membuka laman youtube dan melihat daftar lagu yang ku simpan disana.
Ku sandingkat perangkat bluetooth earphone warna maroon yang memang sedari tadi sudah terpasang di kedua telingaku. Begitu aktif ku pilih lagu dari urutan yang paling atas, dan intro sebuah lagu pun mulai menggema dengan volume sedang mengisi kedua gendang telingaku.
With December comes the glimmer on her face
And I get a bit nervous
I get a bit nervous now
In the twelve months on I won’t make friends with change
When everyone’s perfect can we start over again
The playgrounds they get rusty and your
Heart beats another ten thousand times before
I got the chance to say I miss you
Kini, ku buka Microsoft Word dan membuka satu halaman kosong kemudian perlahan mulai mengetikan sebuah judul cerita pendek dan sederet kalimat lainnya disana. Baru mengetik satu paragraf tetiba si waitress bernama Cipto ini sudah tampak di depan meja ku dan meletakan seluruh menu pesanan di atasnya. “Sudah semua ya, Mas. Pesanannya?” ujarnya.
“Sip-sip. Sudah lengkap. Makasih banyak ya?” balasku. Sucipto menganguk lalu perlahan beranjak pergi kembali menuju meja pramusaji.
Srrrppppphhh….glekkk…
Ku sesap capuchino dingin dari gelasnya. Segera saja rasa dingin, manis, sedkit citarasa pahit kopi berpadu dan menyeruak menyegarkan kerongkongan ku.
Sesekali, sambil masih mendengarkan lagu, ku lihat video berita-berita terbaru yang tengah tranding, disana tampak dibanjiri tagline berita tentang putusan pidana seorang mantan jendral dari hukuman mati menjadi seumur hidup juga berita tranding lainnya seperti tentan seorang guru Bimbingan Konseling di suatu sekolah yang merudapaksa dua siswinya.
“Sinting!!” Umpatku dalam hati “Dunia udah makin tua.”
Ku switch lagi ke menu daftar lagu. Seusai lagu pertama A Little Braver, kini mulai masuk ke lagu kedua. You’re Not Alone milik Saosin versi akustiknya.
It’s just like him
To wander off in the evergreen park
Slowly searching for any sign
Of the ones he used to love.
He says he’s got nothing left to live for
(He says he’s got nothing left…)
And this time I think you’ll know.
You’re not alone
There is more to this, I know
You can make it out
You will live to tell
Selesai tiga sesapan kopi, saat menjeda sejenak ketikan, ekor mataku tertuju melihat info tanggal dan jam yang tertera di sudut kanan bawah laptop.
“Sekarang 10 Agustus ya?” eja ku dalam hati.
Dan segera mengingat jika hari ini genap usia ku di bumi berkurang setahun. Aku sampai tidak menyadari karena padatnya volume pekerjaan di kantor minggu-minggu ini. Entah kenapa seketika pintasan ingatan di tanggal yang sama beberapa tahun lalu, kala aku diberi sebuah kejutan atas inisiasi seoarang atasan di kantor. Saat setumpuk kue donat dan nyala satu lilin kecil di tengahnya. Atasan yang kini tengah mengenyam beasiswa S 2 nya. Sebuah memori perayaan kecil bersama rekan satu divisi lainnya yang melekat dan berkesan bagiku. Bagaimanapun Aku bukanlah seorang yang mudah melupakan kebaikan seseorang, sekecil apapun itu.
Kini kulihat deretan 4 Paragraf tulisan yang tak terasa sudah ku ketik. Tiba-tiba aku membayangkan menjadi tokoh utama lelaki pada sebuah judul cerita pendek.
***
Saat baru saja hendak menuju meja kasir untuk membayar makan, entah dari mana datangnya seorang perempuan berwajah oriental tampak medekati ku yang tengah berdiri dan mengenakan ransel.
“Wait! Aku boleh tolong pinjam korek?” pintanya tiba-tiba
Sontak aku mengkernyitkan dahi sambil memandangi dia.
“Oh, emmm.. apa? Korek ya?” jawabku sedikit gugup.
“Iya, korek. Tadi sempat aku lihat kamu dari jauh lagi ngerokok, makanya aku tau kamu punya korek. Soalnya koreku rusak nih.” Lanjut perempuan asing ini sambil mengapit sebatang rokok putih yang diapit dua jari di tangan kanannya.
Aku merogoh saku kanan jeans abu-abu sebelah kanan, mengambil korek lalu menyulutkan rokok yang ingin di isapnya.
“Thanks ya?”
Aku balas menganguk. Lalu memasukan lagi koreknya ke dalam saku celana. Sedangkan dia, perempuan yang bahkan aku tidak tau namanya itu melangkah keluar kedai.
Usai membayar makanan, di luar aku melihat dia, perempuan tadi tengah duduk di sisi depan area parkir.
“Kamu balik ke arah mana?” celetuknya begitu melihatku saat tiba di sisi depan motorku terparkir.
Aku yang mendengar itu hanya memandang dia heran.
“Kamu nanya aku?” ujarku spontan.
“Ya iyalah, masa aku nanya ke barisan motor ini? Disini kan cuma ada kita?”
“itu ada tukang parkir juga.” Timpalku
“Ye, itumah nggak masuk itungan. Haha.”
Lah dia malah ketawa. Gumamku
Entah kenapa suasana mendadak cair. Suasana obrolanku dengan perempuan asing ini seolah mengalir begitu saja.
“Aku balik ke arah Pluit.” Kali ini aku menjawabnya dengan benar.
“Nah! Kebetulan. Apartemenku dekat tuh! Nebeng boleh?”
Tatap dan gesture biacaranya yang menurutku sedikit memanja membuatku sulit untuk menolak atau sekadar mengatakan tidak. Dan lagi, wajahnya yang oval dengan hidung kecil dan mancung membuatku harus mengakui kalau dia, perempuan asing ini bukan hanya berparas cantik tapi juga cukup memukau bagiku.
“Emang tadi kamu kesini naik apa?” tanyaku ke dia.
“Ojek online.”
“Oh. Yaudah deh, naik.” Tawarku saat mulai duduk di kursi kemudi motor, ia tampak bangkit dari duduk dan memposisikan naik di jok belakang.
Usai bayar parkir kami pun lalu melaju tempat tujuan dia, sebuah apartemen yang kebetulan satu arah dan dekat dengan area kost ku.
Tak sampai dua puluh menit perjalanan, motor yang kami kendarai telah tiba di area parkir kusus motor apartemennya.
“Kamu jangan langsung balik, ya? Temenin aku ngobrol dulu di dalam.” Pintanya
Lagi-lagi aku hanya bereaksi dan menganguk kecil dan mengiyakan. Seolah terhipnotis dengan semua kalimat yang meluncur dari bibir mungilnya.
Aku mengekor di belakangnya, masuk ke loby lalu menuju ke dalam lift. Di tekannya tombol angka 9. Yang berati apartemen dia ada di lantai tersebut. Tiba di lantai sembilan dan berjalan sekitar beberapa meter, ia tampak mengeluarkan kartu akses lock kamar dari dalam saddle bag berbahan kulit warna coklat kemudia membuka pintu lalu masuk kedalam disusul aku di belakangnya.
Ia menyalakan saklar lampu ruang tamu. Melempar pelan saddle bag di sofa navi. Lalu seketika merebahkan tubuhnya di atas sofa itu. Dari posisiku berdiri aku melihat dengan sangat jelas wajahnya yang dibalut model rambut side part hitam mengkilau ini menghadap ke atas langit-langit. Outer warna krem yang menutupi tengtop hitam yang dikenakannya sedikit terbuka. Paduan jeans biru muda membuatnya tampak sederhana namun tetap anggun di mata ku.
Hfffttthh…
Dia mengela napas panjang. “Kamu kenapa berdiri diam aja disitu sini duduk dong, sebelah aku.”
“Gimana mau duduk, sofanya kemakan badan kamu semua tuh.”
“O iya ya, haha. Sory.” Dia lalu beranjak duduk, aku mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu mau minum apa?”
“Bebas deh, apa aja yang dingin, asal jangan yang alkohol. Aku nggak minum soalnya.”
“Ale-ale mau?”
“Seriusan ada ale-ale?”
“Ya enggak lah.”
Dan kami pun tertawa.
“Di kulkas cuma ada air putih.”
“Iya nggak apa-apa, itu juga boleh.” Jawabku sambil menengadahkan kepala melihatnya bangkit dari duduk dan berjalan mengambil minuman ke dapur.
Sambil menunggu, ku lihat di dalam suasana interior apartemen type studio satu kamar ini yang tak begitu banyak furniture. Hanya ada sofa di ruang tamu dan terpampang beberapa figura potret monokrom pose dia di beberapa sudut tembok.
“Liatin apaan?” tanya dia tiba-tiba sambil meletakan botol dan gelas di meja kayu kecill di depan sofa.
“Oh, nggak. Itu aku liatin foto kamu di dinding.”
Dia tampak tersenyum malu.
“Kamu hoby di foto? Model ya?”
“Nggak hobi juga sih. Bukan model juga.”
“Masa?”
“Seriusan. Aku cuma suka aja majang itu karena seninya.”
“Jadi kegiatan kamu sehari-hari, apa?”
“Coba tebak?”
“Ye dia malah main tebak-tebakan” batinku.
“Pramugari?”
“Sotoy! Mana ada pramugari bisa bebas gini.”
“Ya, siapa tau kan lagi off dinas.”
Breeggghh…
Tiba-tiba dia merebahkan kepalanya di atas kedua paha ku. Sontak degup jantung ku mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya. “Eh, kamu apaan ini.” Ujarku spontan.
“Nggak apa-apa kan rebahan di kamu?” Jawabnya santai.
Shiit!!… aku membatin.
“Eeh..I iya nggak apa-apa sih.” Aku berusaha menutupi rasa canggung yang mendadak menyelimuti.
Sial! Kenapa jadi malah berdesir gini. Aku bergumam lirih. Lalu mencoba santai dengan meraih botol berisi air mineral dingin, menuangkannya setinggi setengah gelas, meneguk sedikit lalu meletaknnya lagi.
Aku hirup dalam-dalam udara sekitar ruangan, harum aroma jasmine, musk berpadu dengan vanila dari tubuhnya. Tak salah lagi, sebagai penyuka parfum aku langsung tau apa yang di pakainya.
“Kamu pakai Chance Eau de parfume nya Channel ya?”
“Loh, kok tau!” ujarnya
“Asal nebak aja sih, haha.”
“Kamu bener kok.”
“Eh, kamu jangan alihin pembicaraan ya?”
“Soal apa?”
“Tuh, kan! Kamu belum nebak yang pertama kamu nanya?”
“Oh, itu.” aku bereaksi pura-pura.
“Oke, aku nyerah deh, Pas.”
“Dih, masa baru nebak sekali udah nyerah.”
“Oke, aku coba tebak sekali lagi.” Kali ini aku benar-benar berpikir keras.
“Emmm… Tukang steam kendaraan? Ya, kan?”
“Ngaco!” rutuknya sambil mendorong pelan bahu kanan ku.
“Soalnya kamu bersih, kinclong dan wangi, ha ha ha.”
“Apaan sih! Ha, ha, lucu deh.”
“Jadi, apa dong jawabannya?” timpalku.
“Jadiiii….” ia sengaja melambatkan pembicaraan.
“Aku itu….”
“Lama!!”
Dia pun tertawa.
“Aku aktris di cerita pendek.” Akhirnya meluncur juga jawaban dari bibirnya.
“Hah! Seriusan!?” aku sedikit terperanjat.
Dia menganguk yakin.
“Aneh, kok bisa pas, ya?” ujarku. Sambil sesekali melirik wajahnya yang kali ini sedikit tertutup poni rambutnya. Telapak tanganku menahan sekuat mungkin untuk tidak menyibak poni yang sedikit menutupi bagian wajahnya itu.
“Maksudnya, Pas gimana?”
“Aku cerpenis.” Jawabku singkat.
“Hah!” kali ini, dia yang terperanjat, kaget.
Baru beberapa jam kami bertemu, aku bahkan belum tau nama perempuan itu. Tapi entah kenapa, rasanya seperti sudah sangat lama kami saling mengenal, selaksa ketenangan dan kebahagian dan cara dia memperlakukanku seolah mengisi celah retak yang ku pikir tidak akan pernah pulih jauh di hatiku yang terdalam.
Dia bangkit dari dan menyandarkan kepala di bahu kananku. Dari sini aku bisa dengan jelas mencium aroma wangi rambut hitamnya yang lurus dan mengkilap. Tanpa sengaja ketika aku menoleh sedikit, ujung hidungku mencium rambutnya.
Cupppphhhh….
Aku mencelos. Belum siap dengan apa yang ku lihat dan rasa barusan. Kala bibirnya mendarat lembut di keningku. Entah berapa lama jeda keheningan hadir diantara kami.
“Terima kasih ya? Sudah menemaniku sampai sekarang, aku ingin bisa dukung kamu terus.”
“Terima kasih telah berjuang dan melakukan yang terbaik untuk segala apa yang kamu lakukan.” Jelas dia.
Giamana mungkin kalimatnya barusan seolah terasa mengerti atas apa yang ku alami hingga detik ini, perjalanan yang tidak pernah mudah untuk segala hal yang ku lakukan untuk sebaik dan sebanyak manfaat bagi sesama, terdengar naif memang. Namun nyatanya kalau ada yang mampu menggerakan hatiku diatas tujuan sebuah mimpi maka itulah jawabannya.
Kini aku tidak lagi bisa menahan hati dan kedua tangan untuk mendekap tubuhnya. Kali ini aku balas mengecup keningnya. Ku pejamkan kedua mata sambil merasakan kedamaian merasuk lebih dalam ke sekujur tubuh. Dan masih membisu.
“Kamu jangan terlelap, karena hanya disini aku bisa sama kamu dan menemanimu.” Bisiknya samar namun jelas terdengar di telinga gue.
Aku membuka perlahan kedua kelopak mata, kedua pandangan kami saling berrtemu. Seolah ada daya magis dari tatapnya tetiba seolah kantuk menggelayut begitu kuat. Aku menahan untuk terjaga dan terus menatapnya. Sampai dia memiringkan sedikit kepalanya dan makin mendekat ke arahku. Dan diantara jarak kami yang sangat dekat juga keheningan yan panjang, lalu ku refleks memejamkan kembali mata kami saling berpaut dan terpagut. Dan tiba-tiba…
“Mas..Mas! bangun Mas.”
Aku mengerjap, di depanku tampak Sucipto baru saja menepuk pelan bahu kiriku.
“Hah, gimana-gimana?” kataku yang baru sadar dari lelap.
“Cafenya kami sudah mau tutup Mas. Bentar lagi jam 10.” Lanjutnya.
“Oh, Ok-ok sory ya?” balasku singkat.
Aku berusaha mengingat lagi apa yang ku alami barusan, sialnya bahkan belum sempat menanyakan nama permpuan itu di pertemuan kami dalam cerita pendek ini.
Indonesian Randoms Bloggers.
Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.
“Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Tring….. Tring…. Pijar redup lampu biru, sayup-sayup suara
Terdengar nada pemberitahuan chat masuk di group alumni
Jakarta, Juni 2021… Cahaya mentari pagi menyingsing dan
Aku baru saja memarkirkan motor matic hitamku di
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk