
Akasia And The Secret Door (Bagian 3)
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Suatu hari di bulan oktober yang terasa lebih dingin dari bulan-bulan sebelumnya. Sepulang kerja pukul lima sore, gue menyempatkan untuk mengunjungi kedai kopi favorit. Sebetulnya tidak setiap hari gue mengunjungi kedai kopi ini, tapi bisa dibilang dalam seminggu, gue bisa dua sampai tiga kali kesini.
Sebuah kedai kopi dengan desain Ala Vintage minimalis yang gue taksir luas bangunan utamanya tak lebih dari lima meter persegi. Jaraknya yang tak jauh dari termpat kerja serta tempat tinggal gue sekaligus di tepi pantai selalu tidak pernah gagal untuk menjernihkan pikiran yang penat seusai bergumul dengan rutinitas kerja, terlebih sebagai penulis cerita pendek, suasana kedai ini seringnya melahirkan inspirasi bagi gue.
Gue memposisikan duduk di meja berbentuk lingkaran yang terbuat dari ukiran pohon berwarna cokelat tua dengan diameter kira-kira seratus centi, dengan pemandangan menghadap langsung dermaga kecil dan laut lepas. Gue beruntung, dari hanya lima meja yang posisinya menghadap laut, tersisa satu meja kosong pojok paling kiri dari pintu masuk kedai yang kini gue tempati, semua mejanya terdapat dua kursi kayu yang saling berhadapan, karena gue sendiri maka tinggal menyisakan satu kursi kosong persis di hadapan gue.
Gue lirik angka digital dari arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanan gue menunjukan pukul 17.25, sesaat sebelum pelayan perempuan berambut hitam sebahu yang di kucir rapih menghampiri meja gue sambil membawa menu kedai ini.
“Jadi pesan apa, mas?” Tanya si pelayan saat gue baru aja menaruh tas hitam di bawah meja dan meletakan laptop hitam gue di atas meja.
“Minumnya, biasa ya? Terus saya mau french friesnya satu porsi. ”Jawab gue, dengan kata “biasa” yang langsung di pahami si pelayan dengan penanda bertuliskan nama LARAS di seragam warna krem yang ia kenakan itu, karena gue cukup yakin sebagai pelanggan setia kedai ini, dia pasti hapal minuman yang biasa gue pesan tiap datang kesini.
“Black Original Vietnam Drip robusta – aceh gayo satu, dan French Fries satu porsi, Ada tambahan lainnya?”
“Nggak ada, itu aja dulu.” Jawab gue. “Eh, sory lupa. Sama tolong pinjam asbak ya?”
Pelayan yang bernama laras itupun mengangguk, lalu beranjak menuju meja bar.
Begitu layar muka laptop menyala, segera gue menyambungkan hubungan wiffi kedai ini utuk kemudian membuka internet dan menuju laman utama youtube, memutar daftar lagu yang tersimpan disana, sambil membenarkan letak earphone bluetooth putih gue.
I’m telling you
I softly whisper
Tonight tonigh
You are my angel
Suara renyah Takahiro Moriuchi seketika menggema dengan volume sedang di kedua gendang telinga gue, melewati bait pertama lagu Whereever you are yang dibawakan versi live akustik dan baru saja gue membuka tampilan Ms Word, tiba-tiba laras, salah seorang pelayan kedai ini telah berdiri di sisi kanan gue sambil mencolek bahu kanan gue, seketika gue jeda lagu, lalu menoleh ke arahnya.
“Makasih ya?” Ucap gue ketika dia selesai meletakan seluruh pesanan di atas meja.
Ia membalas ucapan gue dengan senyum dan mengangkat sedikit kedua alisnya.
Gue mulai mengetikan sesuatu, kata demi kata tersusun menjadi rangkaian kalimat, lalu mengangkat driper dari atas cangkir bening di meja gue tersebut meletakannya di sisi cangkir, memasukan gula yang terpisah, sedikit hanya separuh dari bungkusnya kemudian secara perlahan mengaduknya, mengangkat cangkirnya dengan tangan kanan sambil meniup-niup perlahan kepulan asap tipis yang menyeruak dari bibir cangkir sebelum menyesapnya perlahan, membiarkan aroma serta rasa kopi yang mulai meyerap di ujung lidah sebelum akhirnya masuk ke tenggorokan.
Sesekali gue pandangi suasana sekeliling kedai, di bagian luar bangunan utama terdapat kurang lebih dua belas meja kayu yang sama seperti di dalam, bedanya barisan meja di luar langsung beratapkan langit. Pelen-pelan gue biarkan angin laut yang masuk melalui jendela geser ini menerpa separuh badan gue, terasa sejuk dan menenangkan.
Usai salat magrib, di fasilitas musala kecil yang dimiliki kedai ini, gue kembali duduk di meja, memasangkan kembali earphone dan mulai mengetik lagi. Baru beberapa menit, tiba-tiba entah dari mana asalnya, tampak seorang perempuan menggeret kursi kosong di depan gue, lalu memposisikan duduk. Seketika fokus gue sedikit teralihkan, spontan menjeda lagu dan melihat ke arah perempuan itu.
“Gue duduk disini ya?”
Gue mengangguk.
“Lagi ngerjain tugas kantor ya?” celetuknya.
Buset ini cewek sok asik bener , gue kernyitkan dahi dan memilih diam tak menanggapi.
Lalu perempuan itu tampak melambaikan telapak tangan kanannya, memanggil pelayan untuk mendekat ke arahnya.
“Aku mau pesan vietnam drip kayak mas ini dong! Tapi kasih susu kental manisnya dikit aja ya?”
“Ada lagi kak, pesannya?”
“Sementara itu dulu deh.”
“Ok, ditunggu pesanannya ya kak?” Dan pelayan itupun kembali ke arah meja bar.
“Mas, udah lama disini?” Tanya perempuan itu ke gue.
Gue dengar dia, namun tetap diam tak menanggapi.
Kali ini ia mengerak-gerakan jemari kedua tangan membentuk gerakan bahasa isyarat, ke gue.
“Lu kira, gue tuli?”
Dan seketika perempuan itu tertawa kecil.
“Abis mas nya nggak jawab-jawab sih, pas aku nanya.” Timpalnya.
“Ya, gue heran aja ada cewek duduk di hadapan gue lalu sok asik dan tiba-tiba nanya-nanya gitu, aneh aja.”
“Selow kali mas, kan cuma nanya.”
“Dan tolong jangan panggil gue MAS! Gue bukan kasir mini market.” Tegas gue.
Dia meringis, dan masih tampak aneh bagi gue.
Percakapan antara kami terhenti sejenak ketika pelayan meletakan minuman pesanan perempuan asing yang sama sekali tak gue kenal ini.
“Thanks ya?” Ucap dia ke pelayan.
“Sama-sama kak.” Jawab si pelayan lalu membalikan badan dan kembali ke tempatnya semula.
Kini pandangan perempuan itu menatap cangkir minumannya, sedangkan gue mengeluarkan bungkusan rokok mentol dari saku kanan jaket bomber abu-abu muda yang resletingnya gue buka sekitar dua jengkal dari atas kerahnya, kemudian membakarnya.
“Sory, gue ngerokok ya.” Ucap gue sambil mengepulkan asap tipis ke udara.
“Santai, gue juga ngerokok kok.” Dia masih sibuk memandangi cangkirnya.
Siapa juga yang nanya.
Kini gue perhatikan saksama perempuan itu, perempuan berambut hitam se leher dengan kaos hitam dibalut outer flanel paduan ungu-hitam sepanjang lutut serta celana jeans panjang warna biru belel. Kulitnya putih, hidung mancung dan garis alis yang tajam seolah menyamarkan bentuk wajahnya yang oval simetris.
Disini, gue baru menyadari kalau perempuan itu punya paras yang manis, bagian termanisnya menurut gue ada di senyum yang sesekali terbit dari bibir mungil berlapis lipstik warna pastel, gue terka berat senyum manisnya itu sekitar sembilan miligram. Biarpun begitu bagi gue sikap aneh perempuan ini tetap tak terdefinisikan.
Tak terasa waktu sudah lima belas menit menuju setengah delapan, saat gue melihat jam dinding berbentuk segi lima berwarna hitam yang menggantung di dinding persis arah jam dua belas dari posisi gue duduk, dan cangkir kopi kedua gue tinggal menyisakan setengahnya saja.
Hfffhhhhh, hfffhhh…
Ia meniup-niup bagian atas cangkir, memecah kepulan asap tipis dari bibir cangkir ke sekitaran wajahnya, sesaat sebelum menyesapnya sedikit lalu meletakannya kembali di atas meja.
“O iya, aku Kinar.”
“Abimanyu.” Gue membalas jabat tangannya, setidaknya kini suasana di antara kami perlahan mulai sedikit mencair.
“Tapi panggil aja Abi, biar nggak kepanjangan.”
“Okay.” Dia sambil melingkarkan ibu jari dan telunjuk telapak tangan kirinya.
Dan kami pun mulai larut dengan bincang ringan masing-masing, sampai jarum pendek jam diatas dinding kedai tepat berada di angka delapan. Usai membayar ke kasir, gue mengantar kinar ke apartemennya yang tak terpaut jauh dari tempat kost gue.
Setibanya di dalan kamar type studio miliknya kami melanjutkan perbincangan, sampai seketika gue tercekat, saat tetiba kinar mendekatkan wajahnya ke arah gue, kini kedua hidung kami hanya terpaut kurang dari dua centimeter. Lalu…
Sehari kemudian kedai kopi tampak ramai ketika beberapa polisi datang menginvestigasi seluruh pegawai juga pemilik kedai perihal laporan hilangnya seorang lelaki berusia tiga puluh tahun yang terakhir mengunjungi kedai tersebut. Satu-satunya barang bukti penyidikan adalah laptop hitam milik si lelaki yang tertinggal di kedai, namun setelah menyelidiki, pihak kepolisian tidak menemukan petunjuk apapun selain draft sebuah cerita pendek berisi tulisan tiga paragraf yang belum selesai di ketik dengan kata tolong di akhir tulisannya tersebut.
Indonesian Randoms Bloggers.
Arungnadir.com adalah rumah yang saya bangun sebagai wadah untuk menuangkan segala hal yang ingin saya tulis tentang apapun yang saya sukai. Semoga dengan itu rumah ini bisa berbagi kebermanfaatan.
“Bagi Gue, Kehidupan seperti halnya kepingan-kepingan pudzle yang dititipkan Tuhan untuk kita susun satu demi satu hingga kepingan tersebut menjadi satu bagian utuh. Dan ketika susunan pudzle itu telah sempurna, selalu ada pudzle lainnya yang menunggu untuk kita tuntaskan.”
Akasia baru saja tiba di Stasiun Gambir, begitu
Tring….. Tring…. Pijar redup lampu biru, sayup-sayup suara
Terdengar nada pemberitahuan chat masuk di group alumni
Jakarta, Juni 2021… Cahaya mentari pagi menyingsing dan
Aku baru saja memarkirkan motor matic hitamku di
Apakah hanya kebahagiaan saja yang mestinya pantas untuk